Siapa Pemilik Kehendak?

Judul Buku    : The Madness of God

Penulis    : Shawni

Penerbit    : Pustaka Zahra

Terbit    : Agustus 2004

Tebal    : 142 halaman

 

“Dia manfaatkan kebencianku terhadap umat manusia, semua demi tujuan-Nya sendiri. Aku sebenarnya justru membantu umat manusia, bahkan saat aku merupakan momok bagi mereka. Karena hanya melalui akulah sifat asli manusia bisa terungkap.”

Pertanyaan besar yang justru berbahaya untuk dipikirkan mengganggu pikiran seorang pendeta bernama Buhairah: jika Tuhan Mahakuasa, dan tiada sesuatupun yang terjadi di luar kehendak-Nya, maka bagaimana mungkin makhluk dapat disalahkan karena dosa-dosanya? Pertanyaan ini membuatnya diselimuti kegelisahan teologis, keyakinannya akan keesaan, kemahakuasaan, dan keadilan Tuhan mulai goyah.

Seorang pemuda muncul di hadapan Buhairah dengan segudang argumen tentang dualisme Tuhan. Pendeta yang dahulu menjunjung tinggi keesaan Tuhan, kini hatinya mulai ditaburi keraguan. Buhairah kemudian bertemu dengan Rasulullah saw. Dalam sebuah perjalanan, Rasulullah meninggalkan Buhairah di sebuah mata air, disanalah dia berjumpa Iblis. Terjadi perdebatan panjang yang nyaris tanpa ujung antara Iblis dan Buhairah mengenai keadilan dan kemahakuasaan Tuhan.

Kutipan di atas merupakan sanggahan Iblis terhadap Buhairah yang mengatakan bahwa Iblis adalah musuh yang nyata bagi manusia. Sifat ‘gila’ dari Tuhan dijabarkan dari sudut pandang Iblis yang menempatkan diri sebagai makhluk terkutuk karena kehendak-Nya. Perdebatan antara Iblis dan Buhairah dalam novel ini seperti menunjukkan kecamuk dalam pikiran penulis, dialog internal berupa pertanyaan dan pendapat yang bermunculan di benak penulis kembali lagi menemui pertanyaan yang harus segera ditemukan jawabannya. Shawni terkesan terburu-buru untuk menemukan alasan-alasan yang dapat diterima oleh hati dan pikirannya. Bagaimanapun, novel dengan judul provokatif ini ditulis Shawni sebagai usaha untuk menyelaraskan keimanan dan akalnya.

Da’ud ibn Tamam ibn Ibrahim al-Shawni dikenal sebagai penulis spesialis filsafat religius. Ketiga bukunya yaitu In Herod’s Keep, The Madness of God, dan The Men Who Have the Elephant, tergabung dalam sebuah single volume berjudul The End of Reason. Buku kedua, The Madness of God, justru menjadi yang pertama diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Iblis Menggugat Tuhan.

Dalam The Madness of God ini, Shawni mengandalkan keliaran imajinasinya dengan menonjolkan egosentrisme Iblis. Diawali dengan kesombongan Iblis yang tak mau sujud pada Adam. Tetapi Iblis selalu punya alasan rasional, untuk hal ini karena eksistensi Adam adalah pencerminan dosa-dosa Iblis. Sifat pembangkang termasuk menyesatkan Adam dan umat manusia adalah apa yang Dia perintahkan. Singkatnya, Iblis menyalahkan Tuhan atas kesombongannya itu. Cara Iblis menggugat Tuhan digambarkan dengan elegan dan penuh kejeniusan. Semua argumen yang ia sampaikan begitu terasa masuk akal,  bahkan sangat menggoda pikiran pembaca untuk memenangkan gugatan Iblis.

Setiap kali Buhairah menyangkal pendapat Iblis dan berkata bahwa Iblis tetaplah makhluk paling terkutuk, Iblis memberikan kisah-kisah para nabi yang dijadikan analogi sebagai bahan ‘serangan balik’. Kisah-kisah ini cukup familier bagi pembaca sehingga maksud yang disampaikan Iblis dapat dicerna dengan baik. Hingga akhir perdebatannya dengan Iblis, Buhairah masih dipusingkan dengan adanya ‘kegilaan’ pada Tuhan. Buhairah kemudian mendapat nasihat dari Rasulullah untuk membuang semua keraguannya, manusia tak akan sanggup menanggung beratnya pengetahuan yang ia inginkan. “Sesungguhnya keesaan Allah itu tersembunyi di menara logikamu,” sabda Rasulullah.

Novel ini penting dibaca oleh para monoteis yang kritis. Pembaca dapat memetik manfaat dengan menambah kesadaran untuk meninjau ulang pemahaman imani. Shawni bermaksud untuk menaikkan tingkat pemahaman umat menjadi lebih intelektual. Namun untuk ukuran sebuah novel, Shawni terlalu berani untuk memasukkan Rasulullah sebagai salah satu tokoh di dalamnya. Peristiwa bertemu dengan Buhairah dan mengajaknya dalam suatu perjalanan tidak dicantumkan sumber dan riwayatnya.

Semakin jauh membaca, pembaca akan terus menemukan hal-hal mencengangkan. Novel ini juga membuat pembaca ikut berpikir, termasuk memikirkan berbagai jawaban atas pertanyaan besar di awal tulisan ini. Sebenarnya siapa pemilik kehendak? Jika dibaca dengan tidak hati-hati, pembaca pasti hanya akan menemukan ‘kegialaan’ yang memang ditawarkan sebagai judul buku ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *