Cubitan Maut Pak Guru

Berita dan foto proses persidangan Pak Guru Samhudi, yang dituduh menganiaya seorang muridnya akhir-akhir ini menjadi viral di media sosial. Hal yang sangat menyebalkan bagi saya. Bagaimana tidak, biasanya beranda saya penuh dengan kata-kata mutiara Mario Teguh yang gombal memotivasi. Fatwa-fatwa dari Ustadz Felix Xiaw yang membuat geli iman saya jadi semakin kuat. Atau foto-foto artis idola saya, Nabila JKT 48 dan Syahrini misalnya yang bikin nafsu hati jadi adem. Kini isi beranda saya penuh dengan foto-foto Pak Guru dan muridnya, lengkap dengan kata-kata motivasi yang sama sekali tidak menarik. Sangat menyebalkan bukan?

Tapi lama-lama saya jadi penasaran juga, atau mungkin karena sudah terlalu kesal. Naluri saya sebagai seorang calon guru menuntun untuk meng-klik salah satu postingan kawan saya berupa foto Pak Guru dan sang murid, ditambah dengan prolog yang cukup menarik perhatian saya. Prolog itu berisi sebuah kecaman terhadap tindakan sang murid dan keluarganya yang tetap kukuh ingin memenjarakan Pak Sam, sapaan akrab Pak Guru. Dalam prolog yang ditulis dengan huruf kapital semua itu juga terdapat makian si penulis, mengomentari foto sang murid yang ia posting. Saya mencoba untuk membaca artikelnya, ternyata bikin ngantuk, isinya juga hanya hinaan dan salah menyalahkan dengan kata-kata yang kasar. Karena saya malas membacanya takut ikut dosa karena terbawa emosi, lansung saja saya scroll layar ke bawah, ke bagian komentar. Ternyata dibagian komentar lebih seram lagi, bukan haya manusia yang menjadi komentator, tapi seisi kebun binatang turut berpartisipasi dalam menyampaikan argumennya. Mulai dari yang berkaki empat, dua, hingga yang tak berkaki. Dari yang mamalia sampai mama minta saham yang bertelur. Sungguh demokrasi yang luar biasa.

Tapi tunggu dulu, setelah saya menganalisis secara terstruktur, sistematis, dan masif, saya justru menyimpulkan para netizen itu terlalu terburu-buru untuk menghakimi sang murid. Setelah saya mengamati beberapa foto yang diunggah, saya justru sangat simpati dengan sang murid yang memiliki sifat pekerja keras ini. Lho iya, ndak terima? Di dalam salah satu foto sangat jelas, murid itu sampai rela meluangkan waktu bermainnya untuk bekerja. Sebagai seorang pria, dia sangat menyadari bahwa mandiri merupakan suatu keniscayaan. Ia juga sangat memahami, bahwa mencari uang di negeri yang semakin kapitalis ini tidaklah mudah. Maka dari itu dia rela menjadi model iklan rokok, meski gajinya tak seberapa. Dari wajahnya tersirat perasaan dilematis yang sangat kuat, bagaimana tidak, bukan perokok, tapi harus berperan menjadi perokok. Tapi baginya tidak masalah, asal bisa meringankan beban orang tuanya, dia rela melakuan apapun. Sangat mulia bukan?

Di dalam foto yang lain, dia memperlihatkan lengannya yang penuh luka lebam. Ini semakin menunjukkan betapa dia seorang pekerja keras. Pagi sampai sore sekolah, sore sampai malam kerja, seperti kisah si Budi kecil dalam lagu Iwan Fals. Kisah perjuangannya sungguh membuat hati saya terenyuh. Ya, inilah hidup nak, keras juga kejam. Tapi percayalah, tidak ada yang sia-sia dari sebuah perjuangan yang sungguh-sungguh.

Di sini saya justru kurang sepakat dengan cara mendidik Pak Guru. Sebagai guru, ia seharusnya dapat memahami kondisi siswa siswinya. Ia harus mengerti apabila si murid sering tidak konsentrasi saat belajar, sering melamun, atau bermain sendiri saat sedang pelajaran. Pak Guru harus bisa maklum dengan kondisi sang murid, jangan sedikit-sedikit main cubit. Wajar saja jika sang murid tidak terima dan melaporkan Pak Sam ke polisi karena kasus pencubitan itu. Memang tidak sampai melukai fisik sang murid, tapi cubitan itu menyayat dan mengiris-iris hati sang murid. Bayangkan saja, di rumah banyak masalah, tugas sekolah banyak, malam harus kerja cari uang, dikecewakan negara sudah setiap hari, ditambah di sekolah bertemu guru yang suka mencubit. Sakit bukan? Tidak salah, kalau cubitan Pak Guru saya namakan cubitan maut. Rasa sakitnya jelas jauh lebih sakit ketimbang yang dialami Cinta ketika ditinggal Rangga tanpa pamit.

Ada yang bilang, Pak Guru kan mencubit karena rasa cinta kepada muridnya. Ia tidak ingin siswa-siswinya tersesat, terjerumus ke dalam pergaulan yang salah, seperti yang banyak dialami generasi kita. Nah, sekarang saya tanya, Anda pernah jatuh cinta? Lho, apa hubungannya? Tentu ada, jika anda pernah, apakah Anda suka bertindak kasar kepada orang yang anda cintai, baik dalam perkataan maupun perbuatan? Apakah Anda pernah membentak, atau bahkan sampai melakukan kekerasan fisik? Tentu tidak tho? Paling main cubit juga gak beneran nyubit, bukannya rasa sakit, namun nafsu cinta kalian berdua malah semakin hangat. Kalau memang cinta, ya didiklah dengan cinta, dengan kasih sayang. Bukan dengan cara-cara kekerasan. Pokoknya saya tetap mendukung tindakan sang murid dan keluarganya menuntut perilaku Pak Guru. Usut tuntas kasus pencubitan maut Pak Guru.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *