Pendidikan untuk diasingkan

Kayu yang telah menjadi arang ini tak mampu mengembalikan masa laluku, hari ini tepat lima belas tahun dimana aku meninggalkan kampong halamanku. Masih terbayang diingatanku ketika ketua adat hendak pergi ke ibu kota untuk menjual madu hutan dan aku sebagai anaknya selalu mengantarkan ke gerbang perbatasan suku kami. Rasa ingin tahu ini tak mampu tertahan lagi biasanya ayah hanya menceritakan pesona Jakarta, tapi kali ini aku meminta izin untuk ikut pergi. Madu hutan kali ini lumayan banyak jumlahnya sehingga dapat aku jadikan alasan untuk membantu berjualan. Ibuku terasa berat memberikatn izin karena aku dikenal berbeda dengan saudara yang lainnya.

“Segeralah pergi menyelesaikan segala urusanmu dan cepatlah kembali aku mengharapkanmu” bisikan ibu dalam rongga telinga.

Aku, ayah, jaro Ulu, jaro Surna, jaro Wiwa  memikul madu hutan dengan jumlah yang sangat banyak. Selama sembilan tahun belum pernah ku hirup udara selain di alam kami. Hutan sungai pegunungan dan hasil bumi yang begitu melimpah tak membuat kami kekurangan. Adat yang menjaga kami sampai dapat hidup tentram dan makmur, walaupun bertolak belakang dengan penilaian orang dari luar adat kami.

“Bukan maksud kami ingin mengisolasikan diri, kami hanya ingin menjaga dan melanjutkan apa yang telah menjadi hak dan kewajiban kami” ayah sering bilang itu padaku.

Sesampainya kami di Jakarta aku terkagum dengan pesona bangungan yang menjulang sampai ke langit, orang-orang dengan penampilan aneka warna, uap keluar dari berbagai rumah dan alat berkendaran. Apa yang ayah ceritakan padaku ternyata benar diluar sana kita akan menemukan surga yang lainnya. ku pandangi ditembok dekat pasar ada banyak anak seusiaku mengenakan pakaian yang sama sedang bermain-main dengan bola.

“Ayah aku ingin berada diantara mereka” rintihan aku kepada ayah

Ayah sibuk menghitung hasil jualan madu dan tidak menggubris aku, lalu aku putuskan mendekat bangungan itu dan melihat anak-anak itu dari dekat. Beberapa saat kemudian ayah menepuk pundakku dan memberikan banyak uang padaku.

“Jika memang ini keinginganmu lakukan semuanya dengan istiqomah, dan segeralah pulang ayah selalu dihatimu” pesan ayah.

Kemudian ayah dan rombongan meninggalkanku dan memberikan satu botol madu sisa jualan. Lalu aku pun segera masuk ke bangungan itu untuk mengetahui isi didalamnya. Beruntung bapak penjaga gerbang menyambut kedatanganku dengan ramah. Diantarkanlah aku pada ibu baik hati lalu menanyai tentang diriku dan kuberikan semua uang yang diberikan ayah padanya. Aku diberikan makan tempat tinggal dan pendidikan sama seperti ayah dan ibu ajarkan, tetapi disini aku lebih mengenal dunia dengan bebas.

Pendidikan ku tempuh dalam waktu empat belas tahun sampai mendapatkan gelar sarjana dan seperti manusia pada umumnya menghabiskan waktu dengan bekerja. Pada libur panjang ini aku ingin sempatkan waktuku untuk menemuhi ayah dan ibu di tanah merah sana. Ku pergunakan kendaraan pribadi hasil jeripayah selama ini, dan membawa cerindera mata untuk sanak family. Sesampainya di ujung perbatasaan adat aku dilarang masuk, tak ada yang mengenaliku sama sekali. Beberapa jam aku bertransaksi dengan penjaga gerbang perbatasan, sampai pada akhirnya seorang bapak tua dengan gopah-gopah datang menemuiku. Diajaklah aku kerumahnya dan ternyata beliau ketua adat terlihat dari arah rumahnya yang berbeda.

”lima belas tahun sudah ku tinggalkan tanah ini, nampaknya tidak ada perubahan sama sekali, tetapi masyarakat sini tidak ada yang ku kenal” sahutku

“Iya memang kita selalu menjaga apa yang telah menjadi hak dan kewajiban kita. Apakah maksud kedatangan kau tuk menemui jaro Arya?”, sahut bapak ketua adat

Jawabku dengan anggukan, saat menengo ke samping ku ketahui dari tahi lalat yang ada di lehernya ternyata ketua adat ini jaro Ulu dulu sering berjualan madu dengan ayah.

“Selepas kepergian kau menuntun ilmu, ayahmu tak lagi tak boleh menjabat lagi sebagai ketua adat karena mengizinkan kau putra satu-satunya sebagai penerus adat menginggalkan tanah ini. Tak hanya itu mereka juga dilarang tinggal disini, karena takut tak mematuhi adat-adat yang lain” tutupnya sambil meneteskan air mata.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *