UKT, Bentuk Penghianatan Cita-Cita Luhur Bangsa

Mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan salah satu cita-cita yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Pendidikan menjadi hal yang sangat penting sebagai usaha mewujudkan cita-cita mulia tersebut. Seperti yang dikatakan Vladimir Lenin bahwa instrumen terbaik untuk mengubah nasib suatu bangsa adalah melalui pendidikan. Bahkan kemajuan atau kemunduran sebuah peradaban sangat dipengaruhi oleh pendidikan. Sayangnya realita saat ini tidak seindah yang dicita-citakan. Sejak berlakunya sistem uang kuliah tinggi (UKT) pada tahun 2013 sebagai sistem pembayaran biaya kuliah, pendidikan dinilai semakin kapitalistis.

Niat hati ingin membuat sistem yang memudahkan, uang kuliah jadi terjangkau dan terhindar dari berbagai praktik pungutan liar namun yang lahir justru kapitalisme pendidikan dengan wajah baru. Tidak heran banyak yang menyebut UKT hanya sistem ganti kaos. Memang tidak ada lagi uang pangkal yang harus dibayarkan pada awal masuk namun jika dikalkulasikan UKT justru jauh lebih mahal. Besaran UKT memang ditetapkan secara bertingkat, disesuaikan dengan kondisi perekonomian keluarga mahasiswa. Realitanya banyak terjadi ketidaksesuaian seperti salah sasaran dalam menentukan besaran, keadaan ekonomi lemah namun UKT yang didapat tinggi juga fenomena biasa.

Tingkatan atau level UKT setiap tahun juga selalu mengalami peningkatan, nasib sial bagi yang mendapat level tertinggi, hampir delapan juta pada tahun ini. Saya membayangkan berapa biaya kuliah anak cucu saya besok jika budaya UKT naik setiap tahun seperti sekarang tetap bertahan. Jika seperti itu, masih mau menuntut rakyat untuk wajib belajar, atau menjadi generasi yang cerdas? Atau memang sengaja, rakyat tetap dibuat bodoh supaya mudah dikulebuhi dan dijadikan sapi peras, mungkin ini yang membuat Darmaningtyas menulis buku berjudul Pendidikan yang Memiskinkan. Bukan hanya memiskinkan secara ekonomi tapi juga memiskinkan jiwa merdeka seseorang, memiskinkan apresiasi terhadap kehidupan manusia, memiskinkan rasa seni dan budaya masyarakat, serta memiskinkan pikiran. Ini sangat bertolak belakang dengan cita-cita luhur bangsa. Suatu bentuk penghianatan terhadap usaha mencerdaskan kehidupan bangsa.

Transparansi dalam pengauditan, penentuan, pemakaian, dan sebagainya terkait UKT juga masih sangat kurang. Ini sering menimbulkan tanda tanya besar di tengah mahasiswa, kok bisa saya dapat UKT segini, perasaan alat praktikumnya nggak pernah ada peningkatan, kok UKT-nya naik terus, dan pertanyaan-pertanyaan lain sejenisnya. Intinya mahasiswa perlu transparansi dan rasionalitas untuk meyakinkan bahwa besaran UKT tersebut memang layak dibayarkan dan sebanding dengan yang mereka dapatkan.

Kepolosan mahasiswa baru (maba) ternyata juga dimanfaatkan birokrat kampus untuk membuat perjanjian pematenan UKT sehingga mereka tidak bisa menurunkan UKT-nya sampai lulus. Namanya juga maba, mindset-nya yang penting masuk dulu, bisa diterima saja sudah syukur, soal mampu tidaknya bayar uang kuliah itu dipikir belakang. Celakanya perjanjian ini dilakukan sebelum maba mengetahui besaran UKT yang harus dibayarnya, istilahnya membeli kucing dalam karung. Bagi saya ini merupakan sebuah pembohongan publik, sangat ironis jika mengingat petinggi-petinggi kampus yang notabene orang beragama semua.

Parahnya lagi saat ini sedang berkembang isu diberlakukannya sumbangan pengembangan institusi (SPI) di berbagai kampus. Semakin jelas, bahwa UKT memang tidak lebih baik dari sistem sebelumnya bahkan lebih sadis. Ini menimbulkan sebuah keresahan, bisa saja UNY juga memberlakukan kebijakan itu, walhasil mahasiswa akan semakin tercekik. Tampak semakin jelas bahwa UKT hanya sebuah alat untuk menaikkan biaya perkuliahan secara tersamar dan sistematis. Sebuah konspirasi yang sangat kejam dan licik.

Tingginya biaya kuliah juga akan berdampak buruk bagi perkembangan mahasiswa, mereka akan menjadi sangat terkonsep dan mudah diatur, semakin melanggengkan sistem normalisasi kegiatan kampus seperti masa orba. Calon aktivis menjadi enggan berorganisasi sehingga personal yang kritis, berjiwa sosial, dan sosok pemimpin ideal semakin sulit ditemui. Mereka akan lebih fokus kuliah demi mengejar lulus tepat waktu, kalau bisa lebih cepat. Mungkin masih ada yang ikut organisasi, namun motifnya sudah berbeda dan keluar dari jalur idealisme.

Saya pribadi sangat berharap birokrat di jajaran petinggi akan merenung, bagaimana jika mereka yang menjadi golongan bawah. Saat anaknya merajuk meminta kuliah namun hasil panen tidak cukup untuk membayar UKT. Mereka juga harus membayangkan bagaimana jika cita-cita sang anak yang setinggi langit harus pupus karena UKT yang tidak kalah melangit. Ah, mungkin mimpi saya terlalu tinggi, lebih baik saya fokus belajar supaya cepat lulus dan gampang cari kerja.

1 Response

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *