Kapitalisme Pendidikan Adalah Musuh Bersama

Ilustrasi diambil dari pedagos.wordpress.com

Kapitalisme pendidikan sudah lama menjadi bahan diskusi, apalagi di kalangan agen-agen intelektual bernama mahasiswa. Meski sudah lama, bukan berarti isu ini sudah basi dan tidak relevan lagi dijadikan topik untuk diskusi atau sekadar bahan obrolan sembari menanti Aa’ burjo membuat nasi telur favorit para mahasiswa. Kapitalisme pendidikan nyatanya masih menjadi bahan obrolan yang mengasyikkan bagi sebagian mahasiswa, apalagi di masa-masa tahun ajaran baru seperti sekarang. Dimana biaya kuliah yang sekarang bernama UKT selalu naik setiap tahun ajaran baru. Fenomena ini tentu membuat suasana diskusi di kalangan mahasiswa semakin panas, apalagi jika birokrat kampus mulai bertingkah lucu, misal membuat perjanjian dengan adek-adek maba untuk tidak menurunkan UKT, padahal maba saja belum tahu besaran UKT-nya. Sebuah konspirasi yang kejam, mengerikan, sekaligus menggelikan dari para pelacur intelektual saya pikir. Kebijakan seperti ini tentunya tidak terjadi di UNY, kampus saya tercinta. Tidak hanya asyik dijadikan bahan obrolan, fenomena UKT juga kerap memancing golongan mahasiswa yang masih memiliki darah revolusioner untuk melakukan perlawanan yang lebih keras, yaitu demonstrasi.

Perlawanan dan penolakan terhadap UKT sendiri seharusnya tidak hanya dilakukan oleh mahasiswa. Sebab tingginya UKT akan menyebabkan sebuah efek domino yang sangat mengerikan, oleh karena itu perlu ada sebuah pergerakan yang terstruktur, sistematis, dan masif dari semua lini masyarakat untuk memusnahkan virus yang akan menggerogoti kedaulatan pendidikan di negeri ini. Kelas-kelas masyarakat lain seperti Eneng dan Aa’ Burjo, penjual pulsa, tukang fotocopy dan penjual buku bajakan, penjual bensin eceran, sampai para tukang cukur rambut juga harus turut berkontribusi melawan semua bentuk kapitalisasi pendidikan. Kelas-kelas masyarakat itu adalah kelompok masyarakat yang paling dekat dengan kehidupan mahasiswa. Perlawanan itu bukan hanya sebagai bentuk solidaritas terhadap mahasiswa, tapi karena mereka juga akan terkena imbas dari naiknya UKT.

Mungkin hal ini terdengar lucu, mengada-ada, gatukisasi, atau sekadar analisis cocokologi. Tapi ini benar adanya, yakinlah. Misalnya Eneng dan Aa’ burjo, naiknya UKT mungkin tidak akan berpengaruh besar bagi mahasiswa-mahasiswi kelas atas seperti anak bupati, pengusaha, ketua umum atau DPP partai politik, atau rektor. Akan tetapi pelanggan burjo bukanlah dari mahasiswa kelas atas, melainkan kalangan menengah ke bawah yang maaf, keadaan ekonominya masih labil. Mahasiswa kalangan menengah ke bawah yang tadinya makan tiga kali sehari di burjo, akan mengubah pola makannya, maksimal dua kali sehari, demi menghemat uang saku yang sudah dipotong untuk nomboki biaya kuliah. Yang tadinya minimal minumnya es teh atau es kopi, sekarang cukup dengan air putih, mentok air es untuk mendinginkan hati yang panas karena tingkah pemerintah yang semakin sewenang-wenang. Hal itu tentu akan membuat laba Eneng dan Aa’ burjo menurun.

Bagi penjual pulsa atau paket internet, naiknya UKT juga akan berakibat menurunnya tingkat penjualan, sebab konsumen terbesar saat ini adalah mahasiswa. Mahasiswa akan berpikir ulang untuk membeli pulsa atau paket internet, lebih baik pakai jaringan wifi kampus, bisa hemat 50 ribu buat makan di burjo. Dampak kenaikan UKT juga akan berpengaruh pada penghasilan tukang fotocopy dan penjual buku bajakan. Kalau penjual buku asli akan relatif lebih aman, sebab mayoritas pelanggannya adalah kalangan mahasiswa kelas atas. Modul atau materi yang seharusnya di-fotocopy sekarang cukup di foto menggunakan smartphone yang hampir semua sudah memilikinya. Sedangkan buku yang seharusnya beli (di toko buku bajakan), mahasiswa akan lebih memilih pinjam, atau join, satu buku untuk dua orang tau lebih. Seperti saat menggunakan buku paket waktu SD dulu, satu buku untuk bersama. Ini lagi-lagi akan mengurangi penghasilan kedua profesi tersebut.

Tidak sampai di situ, dampak kenaikan UKT juga semakin meluas menjangkit para tukang cukur rambut. Naiknya UKT membuat komunitas gondes (gondrong ndeso-red) semakin menjamur di kalangan mahasiswa. Uang sepuluh ribu menjadi sangat sayang untuk membayar ongkos cukur. Akhirnya kini semakin banyak mahasiswa berrambut gondrong berkeliaran di lingkugan kampus, dengan dalih supaya terkesan sangar dan menyerupai aktivis. Otomatis ini akan membuat omzet tukang cukur, wabil khusus yang berada di lingkungan kampus menurun. Oleh karena itu, berpartisipasi melawan segala bentuk kapitalisme pendidikan adalah sebuah keniscayaan bagi para tukang cukur.

Itu baru beberapa contoh kelas masyarakat yang turut terkena imbas dari kapitalisasi pendidikan. Masih banyak kelas masyarakat lain yang juga ikut terkena imbasnya seperti buruh, petani, guru honorer, sampai penjual tahu bulat. Sudah saatnya masyarakat menyadari bahwa kapitalisme pendidikan adalah masalah bersama, musuh bersama, bukan hanya masalah mahasiswa dan golongan akademisi saja. UKT adalah sebuah bentuk konspirasi licik dan kejam, yang akan menyebabkan efek domino, sangat mengerikan. Rezeki memang sudah ada yang mengatur, tetapi Tuhan juga akan mikir-mikir, apakah Dia sudi menurunkan rizki-Nya kepada orang-orang malas, yang tidak mau berusaha dan apatis dengan setiap penindasan? Silakan direnungkan sembari menanti Aa’ burjo memasak nasi telur pesanan Anda. [*]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *