Musim PKM (Program Kreativitas Mahasiswa) sudah datang lagi, atau saya yang lupa, bahwa setiap waktu, sepanjang hari, bulan, dan tahun adalah musim PKM bagi kampus saya. Entahlah, yang pasti kampus sedang sangat gencar menyuarakan PKM, berbagai strategi dilakukan untuk dapat eksis, kalau bisa memonopoli semua medali kejuaraan, atau lebih tepat even tahunan Dikti itu. Sayangnya usaha yang dilakukan kampus kebanyakan bersifat instan, tidak ada terobosan-terobosan yang substansif dan revolusioner, melainkan hanya bersifat kulit. Misalnya dengan pelatihan-pelatihan ber-budget besar, namun acara alakadarnya, seolah-olah hanya mengejar penyerapan anggaran saja. Konsep acara tidak penting, yang penting terlaksana dan anggaran terserap, seperti itu kurang lebih. Sangat naif jika usaha semacam itu mengharap lebih, jauh panggang dari api. Pengorbanan tak sebanding dengan hasil yang diperoleh, kerja keras namun kurang cerdas.
Kampus memang tidak pernah sayang mengeluarkan uang untuk hal yang satu ini, berapapun yang dibutuhkan, asal itu untuk kepentingan PKM, pasti akan dicarikan, entah itu dari uang simpanan atau uang yang sebenarnya bukan diperuntukkan untuk itu. Paradigma birokrat kampus memang masih paradigma naif, yang menganggap semuanya bisa didapat jika ada uang, mengultuskan uang namanya. Memanggap kekuatan uang adalah kekuatan yang transenden. Memangnya mau ngurus pembuatan SIM atau surat izin lain, ada uang ada jalan. Sayangnya dalam monteks ini hukum itu tidak berlaku. Memangnya aku lelaki murahan yang bisa kau beli cintanya dengan uang. Di sini uang hanya menyumbang sedikit kontribusi saja, karena yang terpenting adalah kamu bagaimana membangun sebuah atmosfer perkuliahan yang dapat merangsang kreativitas mahasiswa.
Adapun cara lain yang dilakukan adalah dengan mewajibkan mahasiswa membuat proposal PKM sebagai tugas mata kuliah. Sikap ini membuat saya semakin muak, bagaimana tidak, seorang dosen yang cukup senior dan memegang sebuah jabatan, namun pandangannya sangat pragmatis. Saat itu juga wibawanya sebagai dosen yang dituakan jatuh di mata saya. Karena bagi saya orang-orang yang notabene berlatar belakang intelektual tinggi namun tunduk atau bahkan turut menyukseskan sistem yang melenceng tidak lebih dari seorang pelacur intelektual. Tindakan melacurkan intelektual pada sistem itulah yang membuat semakin langgengnya sistem sampah yang ada. Alih-alih menjadi jawara di even dikti namun yang dihasilkan justru tumpukan proposal yang pantasnya masuk keranjang sampah. Duh dheek!!
Di sini saya sama sekali tidak membenci PKM, jika melihat semangat awal yang tertuang dalam visi dan tujuan yang dicita-citakan Dikti saya justru mendukung. Saya menentang sistem yang diberlakukan kampus, yang seolah menghalalkan segala cara untuk mencapai ambisinya itu. Saya kasihan dengan teman-teman mahasiswa lainnya yang memiliki kesibukan lain, misal kerja part time atau menjadi aktivis organisasi. Tidak kebayang bagaimana sibuknya mereka, saya saja yang memilih menjadi mahasiswa kupu-kupu (kuliah pulang-kuliah pulang –red) tugas banyak yang mangkrak. Bagaimana dengan mereka yang setelah kuliah harus kerja paruh waktu, ngurus organisasi, ditambah lagi harus menyelesaikan deadline proposal PKM. Seharusnya birokrat kampus sadar jika kesibukan mahasiswa berbeda-beda, tidak hanya itu, interest setiap orang juga tidak semua sama. Misalnya saya, lha wong ke UNY mau kuliah kok malah dijadikan alat pencetak proposal PKM. Bapak dan Ibu birokrat yang mulia, mbok ngerti sedikit perasaan saya yang ingin fokus kuliah demi lulus tepat waktu ini.
Berbicara kreativitas adalah berbicara proses, tidak bisa dibangun dengan cara-cara instan. Tidak dengan pelatihan formalitas, menggelontorkan anggaran yang besar, apalagi mewajibkan semua mahasiswa membuat proposal PKM, bahkan satu mahasiswa lima proposal sekalipun. Itu adalah cara-cara kuno, pemikiran yang konservatif ala-ala pejabat produk orde baru. Menciptakan atmosfer perkuliahan yang dapat merangsang kreativitas mahasiswa merupakan sebuah keniscayaan, seperti yang sudah saya jelaskan di atas. Bagaimana caranya? Ya dimulai dulu dari hal-hal kecil, misalnya metode mengajar dosen. Apakah dosen sudah mampu menerapkan metode pembelajaran yang mampu merangsang kreativitas mahasiswanya? Atau justru jarang masuk, sekali masuk mahasiswa diberi tugas, lalu ditinggal lagi setelah mahasiswa mengisi kolom presensi yang kosong? Jika yang ada seperti demikian, bagaimana mampu melahirkan kreator-kreator yang progresif dan visioner? Nafsu besar, tenaga kurang namanya.
Tidak bisa dipungkiri, UNY adalah kampus yang fokusnya pada pembentukan guru-guru yang berkualitas. Janganlah rusak tujuan yang mulia itu dengan sikap dan kebijakan-kebijakan latah. UNY akan dicari dan besar dengan sendirinya jika mampu idealis, memegang teguh identitasnya, dan fokus dalam menciptakan kader-kader pendidik yang berkualitas. Jangan menyalahi kodrat, mengejar yang tidak pasti. Seperti yang dikatakan penulis sekaligus budayawan Emha Ainun Najib, “Nek dadi pitik yo wis dadi pitik wae, ora usah ngayal dadi manuk. Timbang dadi pitik ora kajen dadi manuk ora kelakon”. (Kalau jadi itik ya sudah jadi itik saja, tidak usah menghayal jadi burung. Daripada jadi itik tidak dihargai jadi burung tidak terwujud –red). Saran saja untuk para birokrat kampus yang bestari, jangan hanya bacaan dan tontonannya saja yang dewasa, pemikirannya juga harus di-upgrade supaya bisa lebih dewasa juga.