Oleh Fairuz
“Tidak selamanya balita yang merengek ke orang tuanya akan mendapatkan apa yang dia inginkan”
Dulu ketika masih duduk di bangku SMA, sering kali terdengar kata-kata “aktif” keluar dari mulut para alumni sekolah, mereka bilang saat kuliah nanti harus aktif, jika tidak maka bla bla bla bila iya maka bla bla bla. Kami pun dihujani janji serapah bila nanti menjadi aktivis terutama pada saat memasuki masa-masa kuliah, karena mereka menilai banyak keuntungan yang didapat dari menjadi aktivis. Salah satunya yakni mendapatkan skill dan masa depan yang cerah. Begitulah para alumni mendoktrin kami yang tidak tahu menahu akan kehidupan kampus. Tapi kembali ke pertanyaan yang sesungguhnya, apakah menjadi aktivis benar-benar seperti apa yang dikatakan oleh para alumni? Apakah dengan menjadi aktivis akan mendongkrak kemampuan verbal kita? Sebenarnya arti dari aktivis itu apa? Apakah seseorang yang mengikuti banyak organisasi, dapat dikatakan sebagai aktivis? Apakah seseorang yang mempunyai kemampuan verbal yang bagus bisa dikatakan sebagai aktivis? Apakah orang ‘penting’ dengan jadwal ‘segunung’ merupakan seorang aktivis? Penting yang seperti apa? Bagaimana cara kita menjadi aktivis? Seakan-akan aktivis merupakan label yang harus didapatkan, dan dikuasai bagaimanapun juga.
Dulu ketika kehidupanku hanya sebatas ngopi dan gorengan, aku benar-benar tidak tahu menahu soal aktivis apalagi sampai memahaminya. Bagiku orang-orang yang terjun langsung dan berlomba-lomba memamerkan spanduk, mereka hanyalah sekelompok orang yang kurang kerjaan. Sempat berpikir daripada mereka berbuat seperti itu, mengapa mereka tidak bertindak secara langsung saja? dan aku kira tidak selamanya balita yang “merengek” ke orang tuanya akan mendapatkan apa yang mereka inginkan, begitulah pemikiran pendekku dulu. Mereka hanya sekelompok orang yang kurang kerjaan, hanya mengemis perhatian dari pemerintah, dan sekadar menjadi sorotan publik saja.
Seiring berjalannya waktu, apalagi waktu masa awal perkuliahan, aku sudah dapat menerima sedikit alasan mengapa mereka berbuat seperti itu, mengapa mereka mau repot panas-panasan turun kejalan dan berbuat sesuatu yang tidak semua orang mau melakukannya. Tetapi pikiran tentang perkataan alumni masih mengganjal jauh dibenakku. Apakah benar yang dikatakan oleh alumni? Apakah benar ini yang dinamakan aktivis? Bagiku hanya terlihat sebagai eo (event organizer) saja. Tidak banyak mahasiswa-mahasiswa yang benar-benar dikatakan aktivis. Sebagian besar hanya merencanakan kegiatan-kegiatan yang memakan biaya yang tidak sedikit dan cenderung hanya bersenang-senang saja. Bahkan kegiatan organisasi besar pendongkrak kampus pun masih seperti itu. Mereka meneriakkan seruan-seruan aksi tetapi masih mendukung kegiatan dari birokrat. Tidak sedikit juga mahasiswa-mahasiswa yang mempunyai lisan manis, tetapi tidak ada pergerakkan. Bagiku hal ini adalah sajian yang mengecewakan, mungkin dulu aku ber-ekspektasi terlalu tinggi tentang menjadi seorang aktivis. Sekarang yang kutemui hanyalah dunia “hedon” yang memang tidak akan hilang.
Yah, memang sifat manusia itu berbeda-beda, mungkin jika disama ratakan sifat manusia yang ada di Indonesia, kita sudah tertindas termakan bualan-bualan para penjajah yang lebih licik dari kita. Karena itu kita butuh belajar, dan aku berkata seperti ini hanya karena klimaks dari kejenuhanku, puncak dari “kemuakkan” ku. Kita butuh proses, dan aku rasa waktu adalah partner terbaik. Dimana waktu memang tidak bisa dibeli tetapi dapat dinegosiasikan. Maka dari itu lebih baik jangan sia-siakan waktu jika memang hanya untuk bersenang-senang dengan uang rakyat, apalagi sampai membawa title aktivis.