Oleh : Widi Hermawan
Salah satu organisasi mahasiswa yang kerap menjadi perhatian saya adalah lembaga dakwah kampus (LDK), di tingkat SMA biasa dikenal kerohanian islam (rohis). Bagaimana tidak menarik perhatian saya, organisasi ini selalu mengingatkan saya pada Tuhan. Selain itu, akhwat-akhwat yang ada di dalamnya juga tidak kalah menarik dan menyejukkan. Setiap saya melihat mereka bergamis dan berkerudung panjang, membuat saya selalu membayangkan sesuatu di baliknya betapa indahnya jika mereka menjadi makmum saya ketika sembahyang. Benar-benar menyejukkan, bukan? Jauh lebih sejuk daripada ubin musala. Ketertarikan ini bahkan sempat membuat saya mendaftar menjadi anggota LDK ketika masih mahasiswa baru (maba), namun godaan iblis teramat kuat sehingga saya tak kuasa melawan. Akhirnya saya tersesat dan terlempar ke dalam jurang pers mahasiswa yang penuh nestapa, juga berisi kumpulan reptil di dalamnya.
Namun semakin kemari rasa simpatik saya kepada organisasi ini perlahan mulai terkikis. Bukan karena akhwat-akhwat yang ada di dalamnya, bukan. Akhwat-akhwat di dalamnya tentu tetap menarik. Namun lebih kepada arah pergerakan dan cara mereka berdakwah. Perkembangan zaman tampaknya membuat LDK kehilangan arah dan bentuk pergerakan mereka. Fenomena ini muncul ketika mulai maraknya berbagai perlombaan di bidang keagamaan, seperti MTQ misalnya. Fokus LDK dalam mendakwahkan rahmatan lil alamin-nya Islam perlahan terkikis dan tergantikan bagaimana para anggotanya menjuarai berbagai perlombaan. Paradigma bahwa LDK berisi orang-orang yang ingin belajar agama mulai terganti dengan organisasi yang berisi orang-orang alim, ahli agama, atau orang-orang suci yang rajin mengaji dan hafal berbagai jenis kitab. Sayang sekali, tujuan yang mengarah pada kepentingan akhirat mulai tergeser oleh tujuan-tujuan yang sangat matirialistik. Semoga ini perasaan saya saja. Semoga Anda maklum, cowok memang suka baper, makannya saya tidak suka sama mereka.
Memang masih banyak agenda-agenda kajian rutin yang diselenggarakan oleh LDK ini, seperti LDK di kampus saya misalnya, Fakultas Teknik UNY yang setiap Jumat mengadakan kajian untuk umum. Beberapa kali saya sempatkan untuk hadir dalam kajian mereka berharap bisa berkenalan dengan salah satu akhwat membuat saya lebih dekat dengan Tuhan. Sayangnya saya dibuat kecewa, pasalnya isi kajian tidak seperti ekspektasi saya. Saya berpikir mereka akan membahas isu-isu yang sedang hangat di lingkungan kampus atau masyarakat. Misalnya isu UKT yang semakin tinggi, wacana uang pangkal yang sekarang sudah terealisasi, atau isu-isu penggusuran rumah dan lahan rakyat atas nama pembangunan infrastruktur demi kepentingan umum. Saya berharap menemukan solusi dari sudut pandang agama mengenai permasalahan-permasalahan konkret di depan mata itu. Atau paling tidak mendapatkan sebuah pandangan dan sikap terkait isu-isu tadi dari sudut pandang agama untuk memperkaya referensi saya. Sayangnya harapan saya pupus. Seperti saat kau mengabarkan besok kamu akan dilamar oleh kekasihmu.
Misalnya pada kajian terakhir yang saya ikuti. Kebetulan saya datang agak terlambat dari jamaah lain. Sedangkan ustadz yang saat itu mengisi materi sudah mulai berceramah. Saya lupa, siapa nama ustadz itu. Yang jelas ketika baru saja duduk lesehan bersama jamaah lain, dengan jelas saya mendengar ustadz itu berkata “Waktu saya baru nikah dengan istri saya dulu, ada hal yang sangat lucu. Jadi waktu saya baru pulang kerja, istri saya ketiduran di sajadah. Dia masih pakai mukane lengkap. Waktu saya bangunkan, dia kaget dan langsung teriak “siapa kamu?”.
“Bodo amat! Emang gue peduli, serah lu dah!,” batin saya KZL. Tapi tidak dengan jamaah lainnya yang justru tertawa lepas. Para akhwat juga tertawa, meski malu-malu sembari menampakan pipinya yang kemerahan. Saya menjadi bingung, selera humor mereka yang terlalu receh, atau selera humor saya yang ketinggian? Entahlah, yang jelas mulai saat itu saya jadi bad mood. Sepanjang kajian saya habiskan waktu ber-gawai-ria dengan smartphone butut saya. Akhirnya kajian usai, waktu yang panjang saya lewati, dan saya akhiri chating mesra saya dengan gebetan baru, Sim Simi.
Sejak saat itu saya hampir tak pernah lagi ikut kajian yang diadakan oleh LDK. Paling banter saya tanya tema kajian jika ada yang mengajak, sekadar asas sopan-santun dan basa-basi. Dan akhirnya saya akhiri dengan “insyaallah” yang berarti “tidak” dalam bahasa yang lebih santun. Bagaimana tidak, setelah kajian bukannya mendekatkan saya pada Tuhan, atau memberikan pengetahuan serta semangat baru untuk berjuang, malah maaf, jadi terangsang. Bawaannya ingin nikah terus.
Saya tidak menyalahkan pengurus-pengurus di dalam LDK itu, karena memang mungkin bimbingan dari para senior yang minim. Tidak bisa dipungkiri, arahan orang-orang tua memang penting demi menjaga arah pergerakan dan idealisme suatu organisasi. Meski begitu tidak bisa diamini semua juga titah mereka, lembaga harus tetap bisa mengikuti perkembangan zaman supaya tidak menjadi organisasi yang konservatif dan gagal move on. Meski begitu, LDK juga jangan sampai latah, terbawa arus zaman. Harus bisa menempatkan diri secara kontekstual.
Fenomena ngepop-nya LDK-LDK ini sepertinya tidak lepas dari pengaruh tren di tengah kita, salah satunya tentang nikah muda. Di berbagai media sangat menjamur propaganda-propaganda nikah muda. Banyak mubaligh-mubaligh instan diberikan panggung seluas-luasnya untuk berceramah tentang indahnya nikah muda. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang mengampanyekan poligami. Dengan dibalut kata-kata mutiara dan kutipan dalil yang setengah-setengah, propaganda mengerikan itu sungguh sangat manis dan terbukti ampuh mempengaruhi muda mudi kita.
Saya kerap berhuznudzan, mungkin cara-cara ngepop sengaja dipakai LDK untuk menjaring pasar sebanyak-banyaknya. Untuk menjaring massa aksi yang besar untuk perjuangan ke depan. Karena mereka melihat peluang, mahasiswa sekarang lebih suka membahas masalah-masalah populer seputar selangkangan daripada masalah-masalah sosial-politik-ekonomi-budaya. Jika melihat potensi yang dimiliki, LDK memang memiliki potensi paling besar, terutama dalam hal kuantitas SDM. LDK selalu bisa menjaring anggota paling banyak jika dibandingkan dengan organisasi-organisasi mahasiswa yang lain. Contohnya lagi LDK di FT UNY, dimana setiap tahun pengurusnya sekitar seratus. Bandingkan dengan pers mahasiswa yang hanya bisa menjaring belasan anggota setiap tahun, itu pun harus melewati seleksi alam lagi. Memang benar, segala hal jika dibalut dengan agama pasti akan laris. Tapi ini bisa jadi bumerang bagi mereka, dengan kuantitas yang besar tanpa memperhatikan kualitas, mereka hanya akan jadi buih di lautan. Atau paling mentok jadi kotoran yang setia mengikuti arus di sungai. Jika dengan sepuluh pemuda Sukarno bisa mengguncang dunia, apakah dengan seratus pemuda LDK-LDK ini hanya akan memenuhi sungai-sungai dengan kotoran? Semoga saja tidak.
Bayangkan jika potensi sebesar itu dapat dioptimalkan dengan baik, kekuatan mereka sungguh luar biasa. Sejak dini para anggota didoktrin dengan perjuangan-perjuangan pembelaan terhadap rakyat kecil yang tertindas. Melawan penguasa-penguasa dzalim dengan berlandaskan nilai-nilai keagamaan. Bukan doktrin-doktrin untuk berprestasi dalam konteks material dari para birokrat kampus. Maka dalil-dalil yang mereka kutip untuk caption di media sosial mereka bukan lagi dalil-dalil soal nikah muda. Melainkan dalil-dalil yang bisa dipakai untuk melawan komersialisasi pendidikan. Dalil yang mereka pakai untuk quote bukan lagi dalil-dalil soal poligami. Tapi dalil-dalil untuk membela rakyat yang ditindas atas nama pembangunan. Bahasan-bahasan mereka tidak melulu mempersoalkan boleh tidaknya celana melebihi mata kaki bagi seorang laki-laki, boleh atau tidaknya dzikir bersama usai shalat, bukan tentang mana yang lebih baik, shalat tarawih 20 rakaat atau 8 rakaat. Kajian mereka bukan lagi membahas nikah muda sebagai solusi atas maraknya perzinaan, tetapi bagaimana para jomblo ini bisa produktif dan lebih bermanfaat untuk bangsa, negara, dan agama. Isi kajian mereka bukan lagi masalah-masalah receh boleh tidaknya seorang muslim mengucapkan selamat atas hari raya saudaranya yang non muslim, bukan lagi soal boleh tidaknya merayakan ulang tahun, boleh tidaknya tahlilan atau sadranan. Bahasan-bahasan dalam setiap kajian mereka akan diisi dengan tesis bagaimana menciptakan tatanan sosial-politik masyarakat yang lebih bermartabat. Bagaimana mengentaskan kaum buruh, tani, dan rakyat-rakyat kecil dari kemiskinan dan penindasan. Semoga LDK akan segera bangun dari tidur panjang mereka di malam yang seolah tanpa fajar ini.
Banyumas, 24 Juni 18.