Beban Ganda Mahasiswa Kala Kuliah Daring: dari Tuntutan Berkembang Secara Akademik hingga Masalah Kesehatan Mental

Annisa Alvia (20) masih ingat, kala itu, Maret sepuluh bulan silam, dirinya tengah menikmati liburan singkat selepas Ujian Tengah Semester. Seperti layaknya mahasiswi kebanyakan, liburan tersebut dia manfaatkan untuk pulang dan menghabiskan seluruh waktunya di kampung halaman.

Tidak ada hal yang janggal pada hari-hari pertama liburannya, meskipun saat itu, COVID-19 telah menjangkiti beberapa negara –termasuk Indonesia– . Dia masih bisa pulang dengan nyaman dan berinteraksi tanpa jarak.

Memang, pada awal Maret 2020, kasus COVID-19 yang terdeteksi baru dua orang, yakni ibu dan anak yang diduga tertular dari warga negara Jepang. Namun, kasus tersebut nyatanya kian hari kian bertambah.

Mengutip dari rekapan kasus yang dikeluarkan oleh Kompas.com, Minggu (06/12/2020), pada 6 Maret 2020, Indonesia mengumumkan kembali dua pasien positif sehingga jumlahnya menjadi empat pasien. Selanjutnya, kasus-kasus baru muncul secara terus menerus. Bahkan, pada 17 Maret 2020, orang yang terpapar COVID-19 telah mencapai 172.

Penambahan kasus yang terus menerus setiap harinya, membuat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Anwar Makarim pada 19 Maret 2020 akhirnya mengeluarkan Surat Edaran Mendikbud Nomor 36962/MPK.A/HK/2020 tentang Pembelajaran Secara Daring dan Bekerja dari Rumah dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease (COVID-19).

Tidak lama setelah surat edaran Menteri keluar, perguruan tinggi berbondong-bondong menerapkan aturan tersebut. Termasuk juga kampus Anissa Alvia, Universitas Alma Ata Yogyakarta.

“Waktu itu di rumah beberapa hari pulang dari Yogya, terus ada info kalo kuliah bakal daring,” ujar mahasiswi yang kini tengah menempuh semester lima ini.

Sejak awal akan diterapkan, Anissa juga mengaku telah membayangkan apa saja kiranya yang akan dia hadapi, mulai dari kecepatan beradaptasi, ketidakstabilan koneksi, hingga kendala teknis yang akan muncul saat dosen memberikan perkuliahan.

“Udah kebayang sih waktu itu kuliah daring kaya gimana yang pasti kan harus bisa cepet beradaptasi, apalagi kuliah daring juga nambah kendala baru terkait masalah ketidakstabilan koneksi internet, ditambah dosen sama mahasiswa yang punya kendala teknis saat menggunakan aplikasi atau sejenisnya,” ungkapnya.

Baca juga:
Kasus Slamet, Awal Instruksi Gubernur Pencegahan Intoleransi di DIY Diterbitkan.

Namun, setelah sekian lama diterapkan, dimensi permasalahan yang dihadapinya pun kian melebar. Dia menganggap, melebarnya dimensi permasalahan tersebut karena tidak bisa bersosialisasi secara penuh layaknya saat kuliah tatap muka dilangsungkan.

Terlebih baginya, tekanan harus berkembang secara akademik serta kondisi rumah yang tidak selalu nyaman,  menjadi dimensi tersendiri yang selalu dihadapinya selama ini.

 “Awalnya permasalahan karena ketidakstabilan koneksi sama masalah adaptasi. Tapi lama kelamaan dengan kondisi rumah yang tidak selalu nyaman, engga ada temen juga jadi ngerasa sendiri, dan itu malah menjadi stres. Ya stres itu kaya akumulasi dari dua hal itu ditambah tekanan harus berkembang secara akademik,” ungkapnya.

Layaknya Anissa, hal serupa juga dirasakan oleh Galih Jati Mumpuni (21), mahasiswi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Namun bedanya, ketika surat keputusan yang dikeluarkan oleh kampusnya agar melakukan pembelajaran daring, Galih merasa begitu bergembira pada awalnya.

“Kalau ditanya rasanya, awal-awalnya itu senang banget karena itu baru selesai liburan Desember masuk lagi bulan Februari akhir dan awalnya seneng kayak wah gila ya sekolah daring, di rumah aja, kayak liburan nih,” jawab Galih saat diwawancara melalui telepon oleh wartafeno.com.

Namun, kesenangan itu dia rasakan hanya di awal saja. Selebihnya, Galih menambahkan bahwa pembelajaran daring yang dilakukanya hampir sepuluh bulan ini, bukan saja membuatnya tidak berkembang secara akademik, namun juga berdampak pada kondisi mentalnya.

“Kuliah daring lama-lama malah membuat aku tidak berkembang dalam hal akademik saja tapi malah sering membuat aku insecure (perasaan gelisah, takut, malu, hingga tidak percaya diri),” ujarnya.

Selain itu, pada beberapa waktu tertentu dia juga seringkali merasa tidak berguna, meski dia pun menampik bahwa rasa tidak berguna itu sampai memunculkan rasa putus asa.

“Kalau merasa tidak berguna ada di beberapa waktu kayak tidak berguna sekali saya ini kerjaannya hanya gini-gini aja. Tapi, untuk level ke hopeless ngerasa ga ada harapan lagi engga ya,” imbuhnya.

Galih serta Anissa adalah potret sederhana bagaimana pembelajaran daring yang telah dilakukan selama ini begitu berdampak terhadap kesehatan mentalnya. Perasaan bosan karena melakukan hal sama berulang-ulang, hingga terbatasnya ruang gerak untuk berkembang, menjadikan kondisi ini kian memburuk.

Selain dimensi masalah seperti yang telah disebutkan di atas, wartafeno.com juga menemukan bahwa terdapat masalah lain yang muncul, yaitu sulitnya mencari ruang nyaman dalam mengungkapkan segala bentuk perasaan.

Baca juga:
Berawal dari Merapi 2010, Usaha Jendelist Menumbuhkan Minat Baca Anak

Kondisi tersebut dirasakan oleh Eka Laura (19), mahasiswi Universitas Dian Nuswantoro, Semarang. Baginya, menceritakan segala keluh kesah yang dirasakan selama ini adalah hal yang teramat sulit.

Lebih dari itu, daripada mencari ruang untuk berbagi keluh kesah, Eka lebih nyaman menyendiri dan menyelesaikan seluruh tekanan yang tengah dia hadapi tanpa melibatkan orang lain.

“Engga pernah cerita ke orang-orang, susah engga segampang itu. Kalau pas kaya gitu ya kadang ditahan bener-bener seharian di kamar engga ngapa-ngapain. Kalo engga di kamar ya ke kamar mandi nangis. Udah itu aja,” ujarnya.

Ketika wartawan wartafeno.com mengkonfimasi ulang kepada tiga orang narasumber, apa kiranya yang membuat kondisi itu terjadi? Seluruhnya sepakat bahwa pangkal dari semua itu adalah karena merasa sendiri.

Selain itu, hal lain yang mendasarinya adalah tidak banyak aktivitas lain yang dilakukan di saat usia yang tengah produktif sehingga menimbulkan kebingungan dan kecemasan yang terus berulang. Tidak kalah penting bagi mereka, faktor lingkungan dan keluarga serta tekanan akademik juga merupakan faktor terbesar mengapa kemudian rasa stres dan depresi itu muncul.

Bagaimana ahli memandang hal tersebut?

Untuk mengetahui lebih jauh ikhwal kondisi tersebut dari sudut pandang ahli, wartafeno.com menghubungi Agnes Fellicia, dosen Psikologi dari Universitas Surabaya. Ketika ditanyakan apakah rasa bosan terhadap kuliah daring dapat menjadi pemicu stres?, Dia pun tidak menampik hal itu.

Bahkan Agnes berkata, bahwa rasa bosan juga merupakan pemicu pertamanya. Karena pada dasarnya, selain harus beradaptasi dengan sistem perkuliahan, mahasiswa juga dituntut agar tidak melakukan sosialisasi (berkumpul-red) dalam kurun beberapa waktu.

“Untuk yang susah menyesuaikan diri dengan situasi baru seperti saat ini, akan cenderung merasa stres ketika dia harus berhadapan dengan kondisi asing. Karena biasanya kalau di kampus bisa ngobrol, ketawa bareng atau bahkan jika dalam kelas bisa langsung menanyakan pada dosen jika tidak mengerti dan hal seperti ini tidak dirasakan saat pandemi sehingga bisa membuat stres,” ungkapnya.

Lebih lanjut, Agnes pun menambahkan bahwa selain rasa bosan sebagai pemicu stres yang pertama, ada pula pemicu lain yaitu masalah internal dan eksternal. Internal berasal dari diri sendiri, sedangkan, eksternal berasal dari lingkungan sekitar, dan menurutnya, kedua hal tersebut mempunyai keterkaitan yang tidak dapat dipisahkan.

“Saling berkaitan (diri sendiri dan lingkungan), jadi kalau personal juga harus ada dukungan sosial begitu juga sebaliknya. Baik dari lingkungan dan personal itu penting apalagi cara pribadi itu menghadapi problemnya. Kalau misalkan dia menganggap diri tidak berguna atau hal semacamnya jadi dia hanya fokus ke sisi negatif dia dan banyak faktor yang membuat dia merasa tidak mempunyai kelebihan sama sekali,” jelasnya.

Lebih dalam, wartafeno.com juga bertanya apa kiranya imbas yang akan muncul?, Agnes mengungkapkan bahwa beragam yang akan terjadi. Dia memberi contoh yang paling sering ditemuinya yaitu melampiaskan dengan cara menyakiti dirinya sendiri dengan bermacam-macam cara. Selain itu, jika seseorang tersebut memiliki agresivitas yang tinggi, hal yang biasanya akan dilakukan adalah dengan melakukan bullying.

“Dari hal itu, permasalahan yang muncul berikutnya adalah melampiaskan dengan menyakiti ke diri sendiri, dan apabila seorang tersebut agresif, biasanya akan membully orang lain,” ujar Agnes menambahkan.

Lantas, langkah apa yang harus dilakukan?

Menurut Agnes, kondisi seperti rasa depresi, stres, bahkan rasa tidak berguna tetap dapat diatasi dengan cara mengkonsepkan diri selaras karakter pribadi masing-masing. Selain itu, Agnes juga menilai bahwa manajemen emosi adalah hal lain yang harus dilakukan. Dia memberi contoh sederhana cara manajemen emosi yaitu dengan menenangkan diri terlebih dahulu lalu menyelesaikan satu persatu masalah yang tengah dihadapi.

“Memang dalam hal ini kalau dari internal (pribadi), konsep diri yang harus dibetulkan dahulu dan cara pandang dia terhadap dirinya sendiri harus diubah lalu melakukan manajemen emosi,” ujarnya.

Baca juga:
Problematika Peserta Didik Belajar dari Rumah di Mata Psikologi

Agnes pun mewanti-wanti bahwa dalam menghadapi orang yang tengah merasakan depresi ataupun stres, tidak boleh asal mendiagnosa. Karena menurutnya, dalam menetapkan apakah seseorang tengah mengalami gangguan kesehatan mental atau tidak, harus diperiksa secara mendetail terlebih dahulu dengan dua indikator dasar yaitu well being dan resiliensi.

“Biasanya seseorang yang sehat secara mental ditandai dengan dua hal yaitu well being dan resiliensi atau sederhananya dia bisa mengatasi masalah yang dia miliki dan memiliki sifat adaptif yang baik. Hal ini kenapa banyak orang yang tidak dapat beradaptasi bisa dengan cepat merasa stres,” katanya.

Sehingga, agar lebih bijak, dia menyarankan ketika kita tengah menghadapi seseorang yang merasa depresi atau stres, lebih baik untuk mendengarkan. Lebih dari itu, bisa memberi alternatif solusi jika seseorang tersebut menghendaki.

“Lebih bijak dan baik kita bisa mendengarkan atau memberi informasi dan alternatif solusi padanya,” pungkas Agnes.

Catatan: Nama dicantumkan secara detail telah seizin narasumber terkait.

Penulis: Teguh Perdana dan Benedikta Murniati M

Editor: Teguh Perdana

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *