Kasus intoleransi masih sering terdengar di kota Yogyakarta yang dikenal sebagai city of tolerance. Seperti kasus lima tahun terakhir. Pembubaran pengajian rutin Minggu pahing Majelis Ta’lim Raudhatul Jannah di Dusun Sumberan, Kasihan, Bantul mengawali kasus pada 2014. Kemudian pembakaran Gereja Baptis Indonesia Saman, Sewon, Bantul pada 2015, permintaan penurunan baliho Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta yang memuat potret mahasiswi berjilbab oleh Forum Ukhawah Islamiyah (FUI) pada 2016, juga pembatalan acara Kebaktian Nasional Reformasi 500 Tahun Gereja Tuhan karena adanya penolakan Ormas Islam tahun 2017. Lalu pemotongan nisan salib pada makam Albertus Slamet Sugiardi di Kelurahan Purbayan, Kotagede pada 2018 dan tahun 2019 terdapat kasus penolakan Slamet dan keluarga untuk tinggal di Dusun Karet, Bantul karena beragama non Islam. Berdasar data Setara Institute pada 2017, Yogyakarta masuk enam besar kota paling intoleran di Indonesia.
Kelahiran Ingub 1 Tahun 2019
Setelah banyak kasus intoleransi yang muncul di Yogyakarta, Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X pada 2019 mengeluarkan Instruksi Gubernur (selanjutnya- Ingub) No. 1 Tahun 2019 tentang Pencegahan Konflik Sosial. Sebelumnya, Hamengku Buwono X juga sudah membuat Peraturan Gubernur No. 107 Tahun 2015 tentang Penanganan Konflik Sosial yang isinya tidak jauh berbeda.
Kepala Sub Bidang (Kasubbid) Kewaspadaan Nasional Kesbangpol DIY, Monica Irene D menjelaskan kasus Slamet di Dusun Karet setahun silam menjadi faktor yang melatarbelakangi pembuatan ingub tersebut. Walaupun tahun-tahun sebelumnya juga sudah ditemukan banyak kasus intoleransi.
Tepatnya pada awal April 2019, Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) bersama tim terpadu yang berisi anggota instansi Pemerintah Daerah (Pemda) DIY dan organisasi vertikal (Kepolisian Daerah, Komando Resor Militer, Badan Intelijen Negara Daerah, Kejaksaan Tinggi, Kantor Wilayah Kementerian Pertahanan dan Kementerian Agama, Badan Pertahanan Nasional, Komisi Pemilihan Umum, dan Badan Pengawas Pemilihan Umum) melakukan penyusunan draft yang selanjutnya diharmonisasikan oleh Biro Hukum menjadi ingub.
Ingub memiliki sifat yang lebih detil dan ada langkah yang lebih jelas. Selain itu, ingub hanya ditujukan kepada instansi tertentu.
“Kalau instruksi sifatnya lebih implementatif dan lebih jelas langkah-langkah penanganannya,” jelasnya, Jumat (4/12/2020).
Baca juga:
Manusia dan Teknologi Dalam Bingkai Perkembangan Zaman
Monica menuturkan poin yang ditekankan dalam penyusunan ingub yaitu pencegahan, pembinaan dan pengawasan terhadap timbulnya tindakan intoleransi atau potensi konflik sosial.
“Di DIY masih terjadi beberapa kasus penolakan pembangunan rumah ibadah. Yang ditekankan di sini (ingub) adalah mencegah timbulnya tindakan intoleran atau potensi konflik sosial,” katanya.
Tindak lanjut ingub
Monica menerangkan meskipun ingub ditujukan dan ditindaklanjuti bupati dan walikota, tetapi kesbangpol pun ikut mensosialisasikan ingub tersebut.
“Untuk instruksi gubernur itu ditujukan terhadap bupati dan walikota karena mereka yang punya wilayah. Jika ada konflik, maka yang memiliki wewenang untuk menyatakan kalau ada konflik itu bupati dan walikota, bukan provinsi. Kami mensosialisasikan ingub itu ketika melaksanakan kegiatan yang mengundang masyarakat atau instansi,” jelasnya.
Ia menambahkan, kegiatan-kegiatan pencegahan konflik sosial juga dilaksanakan oleh beberapa organisasi dan badan pemerintah lainnya.
“Kegiatan kami meliputi bidang ideologi, politik, sosial budaya dan agama, dan didukung oleh Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Pemda. Juga instansi pemerintah lainnya yang melaksanakan kegiatan pencegahan konflik sosial sesuai wewenang mereka,” tuturnya.
Selain sosialisasi Ingub Pencegahan Potensi Konflik Sosial untuk menjaga kesatuan masyarakat, sejak 2017 Kesbangpol sudah secara aktif melaksanakan pembinaan ideologi Pancasila di 78 kecamatan. Kegiatan ini menjadi salah satu aksi yang dapat meminimalisir potensi konflik sosial dalam masyarakat.
Tanpa pelibatan masyarakat
Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Gadjah Mada, Sri Wiyanti Eddoyono, SH, LLM (HR) menjelaskan, menurut hukum, ingub, pergub dan perda memiliki tingkatan yang berbeda. Perda atau peraturan daerah disahkan oleh lembaga legislatif dan sifatnya mengikat seluruh elemen pemerintahan. Pergub mengatur tentang tata kelola dan bersifat lebih normatif serta mengikat jajaran eksekutif. Sedangkan ingub menjelaskan tentang bagaimana sebuah peraturan dijalankan. Namun ingub tidak memiliki kekuatan yang mengikat yang menjadikannya penting.
“Tidak ada (sanksi) dalam konteks otonomi daerah. Ingub tidak mempunyai kekuatan yang mengikat. Untuk ada sanksi seperti sanksi administratif dan sanksi pidana itu perda levelnya,” jelas Sri, Selasa (1/12/2020).
Ia mengatakan poin dalam ingub dirasa masih memiliki kekurangan karena tidak menambahkan atau mengikut sertakan partisipasi masyarakat dalam proses pencegahan konflik sosial.
“Kalau yang saya baca, ingub tidak mempertimbangkan partisipasi masyarakat lainnya dan isu gender. Harusnya, ada proses yang sejak awal melibatkan masyarakat. Konfliknya ada di masyarakat dan pendekatannya secara hukum dan sangat formal sehingga tidak akan bisa menjawab,” katanya.
Dalam penerapan di masyarakat perlu dipastikan ingub menjadi bagian dari tata kekola di setiap kabupaten. Juga ada penegasan penyelesaian konflik dengan melibatkan partisipasi masyarakat.
Baca juga:
Problematika Peserta Didik Belajar dari Rumah di Mata Psikologi
Kendala terbesar saat ini adalah cara mengajak masyarakat terbuka dan peduli dengan lingkungan sekitar,terlebih saat melihat kasus intoleransi. Namun, silent culture masih menguasai masyarakat. Banyak orang yang tidak setuju dengan konflik, tetapi tidak berani untuk menyatakan ketidaksetujuannya.
Implementasi dalam masyarakat
Menurut Ketua RT 08 Dusun Karet, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul, Nur Samsudin, kasus intoleransi yang terjadi di wilayahnya merupakan kesalahpahaman antara masyarakat dan ketua kampung setempat. Lantaran ada kebijakan yang mengatur, masyarakat selain muslim tidak boleh bertempat tinggal di Dusun Karet memang sudah ada sebelum ia menjabat sebagai Ketua RT.
“Kalau untuk peraturannya itu sudah ada sejak lama itu, dan sekarang juga sudah dihapus,” katanya, Kamis (26/11/2020).
Senada dengan yang dikatakan Samsudin, warga setempat,Wati, menambahkan kedatangan Slamet di Dusun Karet belum diketahui pihak dukuh. Juga belum diterima laporan ada warga kristiani yang menempati kontrakan di sana.
“Pak Dukuh itu tidak tahu kalau ada warga bernama Pak Slamet, karena memang belum ada laporan juga. Tiba-tiba saja banyak wartawan yang datang dan kejadian itu viral,” ujar Wati yang juga istri dukuh setempat, Kamis (26/11/2020).
Saat ditanyakan terkait Ingub Penanganan Konflik Sosial, Samsudin mengatakan sudah ada sosialisasi oleh Dukuh Dusun Karet sehingga tidak ada tindakan intoleran kembali yang akan terjadi kedepan.
Penulis: Benedikta Murniati M
Editor: Akbar Farhatani