Nyenyat Tesman dan Manggut Mahalnya

Sumber gambar: Pexels

Melihat Senopati, Anggoro, Dante, Lesmana, Darmaji, dan Jaedun sudah mantap di kursinya masing-masing dan siap untuk memulai diskusi, Tesman manggut-manggut mengirim kesan serius kepada forum.

Tesman merupakan personel anyar dalam forum sejak ia resmi dilantik sebagai anggota, sebulan lalu. Meski demikian, rupanya ia cukup dipercaya sampai bisa terlibat dalam kongres rahasia ini.

“Seperti yang aku katakan dalam rapat pekan lalu, penjara seumur hidup adalah satu-satunya hukuman yang pantas untuk para koruptor!” seru Senopati, meskipun dengan agak malas karena harus kembali berkutat memikirkan vonis-vonis baru.

“Penjara? Membuat mereka enak-enak menganggur dan dapat makan gratis seumur hidup? Ahh… aku rasa itu bukanlah suatu hukuman,” timpal Lesmana dengan melipat lengan di dada dan membuang napas dengan angkuhnya.

Tesman terdiam, tampaknya ia mulai bisa menebak ke mana arah diskusi akan berjalan. Perlahan ia menyadari bahwa ia sedang berada dalam perundingan “orang-orang bersih”. Barangkali ia sendiri juga heran bagaimana bisa orang sepertinya masuk dalam kelompok eksklusif semacam itu. Ia tidak merasa mempunyai citra yang ciamik hingga bisa mempesona agen-agen dalam kelompok tersebut.

Boleh jadi, ini adalah ulah para senior sialan yang sekonyong-konyong mencemplungkannya begitu saja. Meski benci, pada akhirnya, Tesman justru terenyuh bahagia karena ia tak menyangka akan tergabung ke dalam grup sekeren ini.

“Ayolah, Bung, beri hukuman yang agak lain sedikit. Jika hanya penjara, apa ruginya bagi orang-orang keparat itu?” lontar Dante menyumbang suara.

“Ya! Aku jelas setuju! Terlalu mudah kalau sekadar dikurung dalam jeruji besi. Toh, kita semua tidak akan ada waktu untuk melihat aktivitas mereka di balik jeruji itu. Bisa saja ‘kan mereka malah leha-leha dan hidup nyaman?” giliran Darmaji melempar sepakat. Ia mendongakkan dagu dan menatap sorot mata rekan-rekannya satu per satu. Beberapa di antara mereka menggangguk setuju dan hanya Senopati yang tetap kekeh dengan pendapatnya. Sementara itu, Tesman masih diam dan manggut-manggut.

Lesmana, Dante, dan Darmaji merasa menemukan kesamaan: sama-sama ingin hukum yang baru. Mereka bertiga mengadakan forum di dalam forum, menciptakan suara-suara macam orang berbisik yang cukup menganganggu. Melihat itu, Jaedun pun berdiri, menatap ke arah Dante, Darmaji, dan Lesmana─yang kebetulan duduk saling berdekatan─dan menyampaikan keberatannya.

“Tidak mau aku bersuara kalau tiga orang itu malah asyik berbisik membuat forum diskusi sendiri,” tuding Jaedun. Mendengar keluhan Jaedun; Dante, Darmaji, dan Lesmana pun terdiam dan kembali fokus pada forum utama yang diadakan.

Begitulah Jaedun sejak zaman kuliah. Pantang baginya berpendapat bila forum tidak kondusif. Buang-buang energi, katanya. Bakal lebih banyak yang sekadar latah setuju daripada yang betulan mengerti. Nilai dari usulannya jadi ternodai.

Baca juga: Hikayat Sopir Sarjana: Memarkir Renjana dalam Kelana

“Bicara soal hukuman, ada baiknya, orang-orang rakus itu, kita pekerjakan sebagai tukang sikat WC umum. Itu pekerjaan rendahan, cocok untuk mereka,” usul Jaedun.

Brakkk!!!

“Atas dasar apa kau sebut tukang sikat WC adalah pekerjaan rendahan!!?” pekik Anggoro yang membuat semua orang kaget karena tak menyangka pria kalem itu akan memulai suaranya dengan gebrakan meja.

“Sabar, Bung, aku rasa Jaedun hanya hendak menghukum kesombongan orang-orang keparat itu. Tiada bermaksud menghinadinakan profesi tertentu,” ujar Dante menenangkan.

“Nah! Hukum saja mereka jadi penambal jalanan berlubang! Toh, mereka ambil peran soal jalanan proyek pemerintah yang selalu tidak beres itu,” ungkap Lesmana.

“Aku cukup setuju, tapi biarkan mereka tetap tidur di penjara. Ya, anggap saja makan gratis di penjara sebagai gaji mereka menambal jalan,” tambah Senopati.

Anggoro menggulung lengan baju, pertanda diskusi mulai memanas. Di antara mereka bertujuh, hanya Tesman yang tetap diam dan sekadar menyumbang anggukan atau gelengan kepala. Maklum, anak baru.

“Lalu, bagaimana dengan aset mereka? Ini bukan soal harta yang akan disita, maksudku. Aku bicara soal anak-anak mereka yang sudah sekolah tinggi dengan hasil korupsi itu. Selepas keluar dari penjara, mereka akan hidup nyaman dalam asuhan anak-anak yang mapan,” keluh Jaedun berpikir soal masa depan manis para koruptor berengsek.

“Bung Jaedun tidak perlu khawatir, kita bisa terapkan hukum keturunan. Hukum saja anak-anak mereka juga,” usul Dante.

“Ayolah, kita tidak sekejam para bajingan itu. Lagipula negara kita ini punya senjata khusus bagi para penjahat,” bantah Senopati.

“Senopati benar, ada Hak Asasi Manusia (HAM). Sudah aku renungkan sejak dulu, negara ini terlalu beramah-tamah terhadap para napi. Seharusnya, para penjahat terutama koruptor dan penjahat seksual, dicabut HAM-nya, karena mereka itu sudah bukan manusia. Mereka cuma seonggok belulang dengan otak iblis!” kecam Anggoro yang lantas memijit kening.

“Sudah, jangan bawa-bawa hal itu, bikin repot saja. Cari saja hukum yang paling efektif membuat jera. Kita kuliti saja keangkuhan dan keserakahan mereka,” ungkap Darmaji.

“Hukuman paling jera di negara ini? Aku yakin saat kita berdiskusi untuk menghukum para koruptor, di meja lain ada yang sedang diskusi untuk membebaskan mereka. Kita ini berada dalam negara bangsat memang!” cecar Lesmana.

“Jaga bicaramu, Lesmana! Toh, wewenang kita adalah diskusi soal hukuman. Jangan kau hina negara yang tak salah apa-apa. Bukankah wadah tak akan pernah beracun jikalau isinya ialah air murni?” sentak Anggoro.

“Sialan, selama ini merekalah yang mengacau. Negeriku tercinta dikotori oleh keserakahan mereka,” ujar Darmaji getir.

“Bung, tidak akan selesai kalau kita hanya seperti ini. Pikirkan hukumannya saja. Aku sendiri setuju soal menjadi tukang sikat WC dan tukang penambal jalan. Itu bukan pekerjaan rendahan, tapi bagi mereka, kaum serakah, para koruptor sialan itu, pekerjaan semacam itu benar-benarlah suatu hukuman,” kata Dante menengahi.

“Benar sekali, tidak sabar aku melihat mereka jongkok dengan celana Levis ketat mereka sambil menggosok WC umum!” balas Senopati antusias.

Mereka berenam tertawa besar, sementara Tesman tetap senyap dan menaik-turunkan kepala.

“Tambahkan hukuman jadi penyapu jalan, juga sukarelawan yang harus mau dikirim ke mana saja, ke daerah-daerah darurat bencana. Kita buat mereka benar-benar bekerja untuk rakyat!” cetus Jaedun.

Terlukis senyum puas di wajah Jaedun. Dalam hati, dia berencana mengirim para koruptor itu ke desa-desa pelosok, membangun kembali rumah-rumah yang rusak karena gusuran longsor akibat penambangan arbitrer dan lenyapnya pepohonan hijau yang selama ini mengikat tanah.

“Sepertinya, ada masalah baru. Kita tidak hanya menghukum para bedebah, tapi juga mengambil mata pencaharian rakyat kecil,” cemas Anggoro, ia teringat pada tingginya angka pengangguran di negerinya.

Tesman menggeleng, memijit batang lehernya yang mulai kencang. Dia sudah capek manggut-manggut menyimak orang-orang itu bertukar abab.

“Oh, Anggoro, rekanku yang bijak, kalimatmu tadi sungguh terdengar mulia, bagai pembelaan bagi para bedebah itu. Hey, Bung, yakin sajalah,” kata Dante meyakinkan, “jika hukuman-hukuman tadi diterapkan beberapa tahun ke depan, tidak akan ada lagi koruptor. Uang negara aman, kita dirikan usaha negara, kita ciptakan pekerjaan bagi mereka”

“Aku setuju dengan Dante,” sahut Senopati, “jika yang kita pertimbangkan hanya risiko terdekat, bagaimana kita bisa melakukan perubahan?”

“Baiklah aku paham, tambahkan hukuman sebagai pembersih gorong-gorong dan septic tank! Aku ingin lihat para koruptor itu masuk ke kubangan berisi penuh tai!” timpal Anggoro tergelak-gelak.

Tanpa aba-aba, mereka bertujuh menganggukkan kepala bersamaan. Forum sepakat, mereka mulai bernapas lega.

“Oke, biar aku utarakan lagi kesimpulan rapat kita hari ini yang dihadiri oleh enam orang, yaitu saya Lesmana, rekan saya Jaedun, Dante, Darmaji, juga Anggoro, dengan bermacam usul dan bantahan serta Tesman yang, rupanya hanya tahu cara mengangguk dan menggeleng,” singgung Lesmana, “dan hasil rapat hari ini memutuskan bahwa hukuman yang paling pantas bagi para koruptor adalah vonis pekerjaan sosial sebagai pembersih WC umum, tukang tambal jalanan berlubang plus buruh tetap proyek pembangunan jalan pemerintah, pembersih gorong-gorong, sukarelawan darurat bencana, dan pembersih septic tank. Pokoknya, mereka benar-benar harus mengabdi untuk kepentingan masyarakat umum. Lalu, gaji yang berhak mereka terima adalah kamar gratis di bilik sel dan jatah makan tiga kali sehari. Upah yang terlampau manusiawi untuk makhluk senista koruptor, kukira.”

Usai mengutarakan kesimpulan rapat, sorot mata Lesmana mencari Tesman. Ia mulai kesal dengan keheningan rekan semejanya itu. Tidak hanya Lesmana, lima rekan lainnya─Dante, Senopati, Darmaji, Jaedun, dan Anggoro─juga ikut menyoroti Tesman yang mulai goyah ketenangannya.

“Kenapa kalian menatapku seperti itu?” tanya Tesman yang tidak suka dengan cecaran tatapan mata yang menghakimi itu.

“Bisa bicara juga kau, Bung. Aku kira bisu. Tidak peduli betul kau dengan hukum negara kita,” jawab Dante sinis.

“Bukannya aku tidak peduli, untuk apa aku ikut nimbrung kalian bahas negara, toh, penyebabku ada di sini bukan karena kevokalanku sebagai seorang aktivis atau kemasygulanku karena gagal jadi pejabat negara, lalu hilang akal dan gila. Aku ini cuma seorang suami frustasi yang istrinya kabur dan kawin dengan pria yang lebih kaya, lalu dilarang bertemu dengan anak semata wayangku, dan dianggap gila oleh para tetangga sampai berakhir di sini. Masalahku sudah banyak, buat apa aku memusingkan negara? Kalau pun aku punya waktu lebih, baiknya aku pakai saja untuk bekerja biar dapat uang lebih dan istriku bahagia,” jelas Tesman.

“Kalau saja yang kalian bahas itu perihal patah hati dan kehilangan, aku yang akan memimpin rapat ini. Lagipula, aku kemari untuk sembuh. Kalau terlalu sering gobrol dengan kalian, tambah gilalah aku ini!” imbuh Tesman menyala-nyala.

“Memang, kau ini gila juga, ya?” tanya Lesmana penasaran.

“Gilamu yang bagaimana, Tesman, sampai kau berakhir bertemu kami di sini? Jadi linglung macam Anggoro? Keliling jalan bawa palu macam Lesmana, yang gagal jadi hakim? Oh, atau sepertiku, yang dituduh berdusta karena bilang kalau naga akan datang menghukum para bajingan di kursi pemerintahan itu? Jangan-jangan, macam Darmaji, yang suka keliling sambil telanjang bulat, mana pakai teriak ‘Jangan pukul aku… Jangan pukul aku’,” kata Jaedun berkelakar, “gilamu itu yang bagaimana, Tesman?”

“Emmm, gilaku? Tidak, aku tidak gila. Aku cuma melihat semua perempuan adalah istriku, tapi anehnya, mereka malah teriak-teriak ketika aku ajak pulang,” jawab Tesman lugu.

“HA…HA…HA…ORANG GILA KAU!” sahut Senopati, yang masuk rumah sakit jiwa karena selalu tertawa tanpa sebab.

Mereka bertujuh pun terpingkal-pingkal bersama hingga terjungkal satu per satu.

Penyunting: Lindu A.

Baca juga: Taman Kota, Sukarta Post (II), dan cerpen menarik lainnya di rubrik Cerpen.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *