Massa aksi berkumpul di depan gedung DPRD DIY (Dok.Wartafeno)
Rabu (7/9), di depan Gedung DPRD DIY, terjadi demonstrasi penolakan kenaikan harga BBM (Bahan Bakar Minyak). Massa aksi yang merupakan gabungan mahasiswa dan masyarakat, yang kemudian melebur dalam satu payung gerakan yaitu ARB (Aliansi Rakyat Bergerak).
Humas ARB menjelaskan bahwa kebijakan pemerintah untuk menaikan harga BBM tersebut dinilai berdampak luas dan nantinya akan menimbulkan kerugian di berbagai faktor.
“Kita menolak kenaikan harga BBM karena efek domino yang dihasilkan luar biasa,” ujar Humas ARB.
Dalam penuturannya kepada awak media, Humas ARB mengkritik pemerintah terkait penarikan subsidi BBM. Subsidi BBM dianggap membebani APBN karena mengakibatkan pembengkakan anggaran dari 105 triliun rupiah menjadi 502 triliun rupiah.
Pemerintah dinilai telah salah menafsirkan, bahwa sudah seharusnya subsidi BBM menjadi kewajiban bagi negara untuk menyejahterakan rakyatnya, alih-alih menganggapnya menjadi beban negara. Hal ini dinilai berbanding terbalik dengan anggaran yang digelontorkan oleh pemerintah untuk pembangunan IKN yang mencapai angka 400 triliun rupiah lebih, plus 20% diantaranya ditanggung oleh APBN.
“Pemindahan ibu kota negara relatif tidak berdampak secara langsung kepada kesejahteraan masyarakatnya,” lanjutnya.
Upaya pemerintah dengan menyalurkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk meringankan beban masyarakat atas kenaikan BBM dirasa tidak berdampak. Humas ARB menganggap hal tersebut hanya sebagai respon dari kenaikan harga BBM saja, tanpa menghiraukan potensi efek domino pada kebutuhan lain yang juga terkena dampak.
Hal senada juga disampaikan oleh Reza, mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang juga tergabung dalam barisan demonstran. Menurutnya, kenaikan BBM bisa mengakibatkan dampak multidimensi karena BBM merupakan kebutuhan dasar manusia. Selain itu, harga kebutuhan pokok akan terpengaruh karena tinggi rendahnya harga BBM berdampak terhadap segi biaya distribusi.
Reza mengungkapkan bahwa seluruh masyarakat merasakan dampaknya. Ia menyorot pada bidang pertanian karena menurutnya, para petani juga terdampak oleh kenaikan harga BBM. Adanya kenaikan ini membuat biaya operasional para petani menjadi naik dan berdampak pada penghasilan mereka. Ditambah lagi, rantai perputaran ekonomi pada bidang pertanian yang masih kurang berpihak pada petani itu sendiri.
“Para petani menjual beras, yang bentuknya padi belum diolah, itu kisaran Rp 4.300 – Rp. 4.500 per kilo. Di tengah naiknya BBM, pasti bakal berpengaruh secara signifikan bagi pendapatan petani,” ucapnya.
Humas ARB menambahkan, kenaikan harga BBM bisa menimbulkan inflasi sebesar 5% dan semakin membebani rakyat. Jika itu terjadi maka PHK massal akan dilakukan oleh perusahaan. Sedangkan pekerja informal berpenghasilan tidak tetap akan merasakan dampak dengan naiknya semua harga kebutuhan namun tidak diikuti dengan kenaikan upah.
Humas ARB juga menyampaikan, bila pemerintah tidak mengabulkan tuntutan yang diajukan massa aksi, mereka akan mengadakan aksi lanjutan yang lebih besar lagi. ARB mewanti-wanti akan melakukan konsolidasi secara nasional di daerah-daerah serta merangkul semua elemen masyarakat yang terdampak guna bersuara lebih.
Reporter: Ikhwan Jati