Sumber gambar: Getty Images
Minggu pagi di awal Oktober itu menjadi kelabu. Perasaan marah, sedih, benci, kecewa, hingga khawatir meliputi sanubari rakyat Indonesia. Perasaan-perasaan gelap itu datang begitu saja, tidak memandang ia penyuka sepak bola atau bukan. Lebih lagi saat membaca berbagai berita yang, baik judul atau dalam isinya tertulis “Kanjuruhan”, perasaan-perasaan murung itu akan muncul seketika. Teringat bahwa baru tadi malam telah terjadi tragedi paling kelam dalam sejarah pesepakbolaan tanah air. Dan saya adalah salah satu yang merasakannya.
Saya hanya menonton pertandingan Sabtu malam itu sampai ke menit kesembilan saja. Saat Juninho, striker Persebaya yang menurut komentator memiliki statistik buruk perihal tendangan dari luar kotak penalti, berhasil membobol gawang Arema lewat tendangan yang jaraknya lumayan jauh. Sesudah gol pembuka itu, saya lantas mematikan televisi karena prediksi saya, Persebaya akan memenangkan derbi Jatim tersebut.
Tebakan saya ternyata benar. Namun, saya sama sekali tidak terpikirkan bahwa akhir pertandingan itu akan menjadi sebuah tragedi paling buruk nomor dua dalam dunia sepak bola dunia.
Tanggal 1 Oktober sekarang menjadi monumen kelam baru yang dimiliki Indonesia. Monumen ini bersampingan dengan monumen kelam lain; 30 September. Dan masyarakat Indonesia harus menandai sendiri, jika perlu tulis keterangan tambahan pada kalender masing-masing, bahwa 1 Oktober selain memperingati Hari Kesaktian pancasila juga berkabung untuk 131 korban dari “Tragedi Kanjuruhan”.
Saat tulisan ini terbit, tragedi di Kanjuruhan menjadi sorotan internasional. Banyak tim yang dibentuk dari berbagi instansi, entah itu pemerintah atau independen, sedang mengusut penyebab utama mengapa tragedi bisa terjadi. Saya menyangsikan sekali jika penyebab tragedi ini adalah bentrokan antarsuporter yang masuk ke dalam lapangan. Lebih sangsi lagi jika saya harus menyalahkan tangga dan pintu-pintu yang berada di dalam stadion, atau menganggap dua benda infrastruktur sebagai musababnya.
Saya meyakini 131 korban yang meninggal karena kepanikan akibat ingin menghindar dari asap putih yang memedihkan mata dan membuat paru-paru seakan terbakar: gas air mata. Meski esok ada pihak yang menyatakan bahwa gas air mata bukan penyebab utama atau seorang professor yang menyatakan penggunaan gas air mata sudah termasuk aturan internasional, saya akan tetap mempercayai alasan ini.
Melihat berbagai gambar atau video terkait insiden di Malang kemarin yang memenuhi lini masa beragam platform, memancing otak saya mengangkat salah satu kenangan buruk yang, saya sendiri pun berusaha melupakannya. Kenangan buruk itu juga berkaitan dengan pengalaman pertama saya menghirup gas air mata.
Pada hari di minggu pertama Oktober 2020, di Jalan Malioboro, saya pertama kali menghirup gas air mata. Memang ini ironi, dan saya sampai sekarang menganggap memang sebuah ironi. Jalan yang terkenal melahirkan keindahan dan kenangan bagi seseorang atau jalan di mana berbagai agenda budaya dan seni dirayakan itu, bagi saya, justru terkesan lain. Di Jalan bermakna bunga inilah saya harus merasakan bagaimana rasanya terpapar dan menghirup gas jahat itu.
Pernahkah hidung Anda kemasukan air? Bagaimana kondisi mata Anda saat mengiris bawang merah dengan jarak yang dekat? Pernahkah Anda merasakan tetesan lem setan mengenai kulit Anda? Dan bayangkanlah bila ketiga sensasi tersebut ini terjadi pada waktu bersamaan. Begitulah rasa yang muncul jika berada di dekat gas air mata. Satu menit pun akan terasa satu jam jika berada dalam kondisi yang menyangsarakan seperti itu.
Tidak mengherankan bagi siapapun yang terkena gas air mata, respons mereka akan menjauh. Saya ingat jelas bagaimana mahasiswa, pelancong, pedagang, hingga murid SMK lari tunggang-langgang, saling tubruk-menubruk, menyisir ke gang-gang atau kampung terdekat, demi menjauh dari gas putih jahat itu. Mereka juga ada yang menjadi linglung atau bahkan membeku tiba-tiba (Freeze Response)—diam; tidak bergerak melarikan diri—akibat trauma yang terjadi tiba-tiba. Gas air mata saat itu menambah kengerian yang terjadi di Jalan Malioboro, dua tahun silam.
Lalu bagaimana jika gas air mata diletupkan di tribun stadion sepak bola? Ke mana para penonton harus menghindar dari gas air mata yang jatuh di tempat mereka duduk itu? Jika ingin keluar saja harus menuruni tangga dan lorong-lorong sempit, yang biasanya di sanalah gaung-gaung lagu kesebelasan yang dibanggakan akan menggaung semakin keras bila dinyanyikan, sebelum dan sesudah pertandingan.
Ke mana para penonton harus menghindar dari gas air mata yang menyerang tribun? Jika masuk ke dalam lapangan saja, maka harus bersiap dengan label pericuh atau bertemu dengan bogem, tongkat, atau tendangan dari aparat keamanan yang ada. Padahal niatannya hanya ingin keluar dari situasi yang mematikan itu. Dan kita belum membicarakan tentang anak kecil di sini.
Gas air mata adalah sebuah durjana jika di dalam stadion—apa pun alasan penggunaannya. Mungkin inilah mengapa FIFA mengeluarkan aturan pada pasal 19b tentang pelarangan penggunaan gas air mata dalam sebuah pertandingan sepak bola. Dampak yang terjadi dari gas air mata akan semakin mengerikan—lebih mengerikan dari insiden Malioboro yang pernah saya alami—jika digunakan di dalam stadion. Hal ini karena ciri stadion sendiri yang tersusun dari lorong-lorong atau tangga, yang menyebabkan orang-orang tidak leluasa untuk menjauh dari gas air mata dengan cepat. Tentu ini berbeda dengan tempat terbuka macam Jalan Malioboro, di mana masih berpeluang agar bisa mencari tempat untuk mencari udara segar.
Penggunaan gas air mata yang dilepaskan ke dalam Stadion Kanjuruhan kemarin, saat pertandingan AREMA vs Persebaya, tidak ada bedanya dengan gas klorin yang ditembakan pada parit saat Perang Dunia Pertama; sama-sama memaksa orang untuk berpindah dari tempatnya, dan sama-sama berujung kematian.
Tragedi Kanjuruhan menjadi salah satu bencana kemanusiaan bagi Indonesia, setidaknya pada tahun ini. Lebih khusus lagi untuk pesepakbolaan dalam negeri yang sedang dalam tren positif. Kesalahan ini memang bukan milik seorang atau sepihak saja, tapi jika (memaksa) bijak dengan mengatakan tragedi ini adalah kesalahan bersama, apakah porsi hukuman yang sama juga dapat diterapkan dan dijamin?
Allahummaghfirlahum warhamhum wa ’afihim wa’fu’anhum.
Penulis: Airlangga Wibisono
Penyunting: Lindu A.