Sumber gambar: Unsplash
“Ingat-ingatlah kalian hai penulis belia. Bila kalian memilih jalan sunyi ini, maka yang kalian camkan baik-baik adalah terus membaca, terus menulis, terus bekerja, dan bersiap hidup miskin. Bila empat jalan itu kalian terima dengan lapang dada sebagai jalan hidup, niscaya kalian tak akan berpikir untuk bunuh diri secepatnya.”
(Muhidin M. Dahlan dalam “Aku, Buku, dan Sepotong Sajak Cinta”.)
Pemuda bersweter abu-abu itu baru saja memasuki sebuah toko buku. Hari itu adalah hari yang membahagiakan untuknya. Ia baru saja selesai mengesahkan laporan magangnya; tahapan terakhir dari mata kuliah “Praktik Industri” yang melelahkan. Meski sadar akan hal yang menurutnya aneh karena harus meminta tanda tangan pengesahan itu di pos satpam salah satu rumah sakit mata di Yogya, alih-alih memintanya di ruangan dosen yang dingin dan harum itu.
Setelah bersabar sekian menit, ia mendapat tanda tangan pengesahan dari dosennya yang baik hati itu. Perasaan bahagia sedang memenuhi hatinya. Plong!
Tetapi selintas pikiran muram hendak memudarkan kebahagiaan pemuda itu. Ia merenung, menyadari keterlambatannya. Urusan magang itu harusnya bisa ia tuntaskan di semester lima, bukan delapan.
Pemuda itu sudah tervonis tidak akan lulus dengan ideal. Ia membawa perasaan gundah yang kambuhan jika ditanya kuliahnya sampai mana, padahal skripsi saja masih dicari niat memulainya (itu artinya judul skripsi saja belum ada).
Beberapa temannya sudah mengumumkan tanggal sidang tugas akhir, bahkan di antaranya resmi berfoto mengenakan toga. Tidak jarang juga surat undangan pernikahan ia dapatkan, begitu pun kabar satu dua kawan yang malah sudah menimang buah hati.
Meski begitu, pemuda itu menghamburkan saja pikiran-pikiran yang mengajaknya untuk mempecundangi diri. Ia musti berbahagia saat itu.
Demi merawat kebahagiaan sehari itu, pemuda tersebut merayakan dengan hal yang ia sukai. Ia gemar membaca, mungkin malah dikutuk untuk membaca. Ia percaya kekuatan kutukan setara dengan kekuatan cinta.
Itulah sebabnya ia pergi ke toko buku. Buku-buku incarannya kebetulan masih tersedia, tapi uangnya hanya cukup untuk membeli satu buku saja. Ia pun menyeleksi benar mana yang pantas ia bawa pulang hari itu.
Namun, ada secuil hasrat yang mengendap dalam hatinya. Ia ingin mewujudkan optimisme yang selama ini selalu dinafikannya. Aku butuh buku motivasi menulis skripsi, batinnya. Tetapi ia enggan menyentuh buku-buku motivasi yang “mencolok”.
Ia kurang suka dengan slogan-slogan seperti “Menulislah karena menulis adalah bekerja untuk keabadian!”, “Menulis itu gampang”, “Menulislah agar namamu selalu tercatat dalam sejarah”, atau semacamnya. Ia percaya bahwa menulis itu sulit, berat dan menyakitkan. Walaupun, ketika ditanya mengapa, ia gagap atau malah membalas jawaban dengan bualan.
Setelah bermenit-menit menyelisik, matanya tertuju pada sebuah buku tipis yang nangkring di rak bagian depan toko. Gambar sampulnya yang bergambar orang duduk malas sambil memandang laptop dengan kepala mengeluarkan asap, seolah-olah sedang mencerminkan dirinya sendiri terutama ketika kelak ia mulai “mencangkul” skripsinya.
Tubuh pemuda itu bergetar kecil mendapati judul buku yang benar-benar mencengangkan: “Melihat Pengarang Tidak Bekerja”. Tangan pemuda itu menyambarnya, bergegas ke meja kasir, dan berpesan ke pelayan agar menyampuli buku itu sekalian.
Hasrat membacanya begitu membara ketika perjalanan pulang, tapi sesampainya di kamar, ia malah membiarkan buku itu tergeletak begitu saja, alih-alih melahapnya.
Ia baru membuka buku tersebut jelang pukul sembilan malam. Itu pun dimulai dari halaman belakang, mengintip sebentar “riwayat penulis” dan kembali menutupnya. Sudahlah, mending aku tidur saja, katanya menyerah.
***
Skripsi itu adalah karya tulis dan hanya mampu diselesaikan dengan cara menuliskannya, bukan membayangkannya—atau yang lebih buruk, hanya sesumbar niat menulisnya saja.
Skripsi adalah tahap akhir dari studi seorang mahasiswa di kampus. Ibarat lawan terakhirmu, ia akan mengejarmu bahkan saat kamu berlari untuk menyingkirinya.
Ia mampu membuat tidurmu tak nyenyak, membuat keuanganmu kacau balau, mengecohmu dengan opsi-opsi alternatif agar kau tidak merampungkannya, atau tiba-tiba muncul saja menagih progres saat kau sedang menikmati berak di toilet pesawat yang sedang mengangkasa.
Bila kau ingin bebas darinya, hanya ada dua cara: cara yang baik atau cara yang buruk. Keduanya sama-sama bisa dibuat elegan. Tapi ingat saudara-saudara! Menulis itu sulit, berat, dan menyakitkan!
Selama beberapa hari, pemuda tersebut melupakan “kitab motivasi skripsi” itu. Hingga pada suatu hari, pamannya yang seorang dosen mengajaknya untuk pergi. Ia sebenarnya malas, tapi tawaran pamannya sangat memikat dan akan menimbulkan kemajuan skripsinya. Ia mengiyakan ajakannya.
Tibalah mereka di kampus sang paman. Hari itu, pamannya beragenda menyidang seorang mahasiswa yang hendak mempresentasikan seminar proposal skripsinya. Setelah empat puluh menit, presentasi itu pun selesai.
“Hal pertama yang dilakukan untuk membuat skripsi adalah mencari masalah, bukan judul,” kata pamannya kepada forum.
Ia menangkap dengan jelas kata kuncinya: masalah. Ia memikirkan sebuah “masalah” untuk pijakan awal skripsinya.
Ia merenung sepanjang hari; dari berjalan menuruni anak tangga sepulang menemani sang paman hingga malam terbaring di tempat tidur. Nahas, ia belum juga menemukan “masalah” seperti maksud pamannya tadi.
Pada malam yang membuat otaknya kelimpungan itulah ia teringat dengan “kitab motivasi skripsi” yang belum ia baca itu. Ia mulai menekuri halaman pertama dan terus melibas halaman-halaman berikutnya.
Bajilak!
Umpatan itu tak tertahankan lagi. Motif rahasianya mencari motivasi untuk skripsi terbongkar oleh pembuka buku itu. Tepatnya saat ia membaca halaman sepuluh! Ia kesal karenanya, tapi kemudian ia lanjutkan saja. Ia butuh “masalah”.
Ketika ia sampai pada esai ketiga dalam buku tersebut, tepatnya jelang pengujung tulisan, ia merasa bahwa baru saja ia ditunjukan “penyakit kronis” atau “kesenangan gelap” setiap penulis—tidak peduli apakah seorang pengarang yang rajin menerbitkan karya, wartawan yang pantang menyerah mencari berita, atau mahasiswa akhir pemalas dengan tuntutan skripsi macam dirinya.
Tubuhnya terasa hangat saat membaca kalimat: “Saya sangat menyukai menulis. Saya mencintainya, dan sudah bertahun-tahun bertahan untuknya. Tapi, bisa menemukan alasan untuk tidak melakukannya kadang jauh lebih menyenangkan (hal 36.).”
Kehangatan itu berubah menjadi pembenaran pribadi sekaligus sebuah pengakuan. Ia juga mengakui dosanya ini. “Asu! Kok bener,”umpatnya sebal.
Ia semakin keranjingan membaca kitab sialan itu. Sampai juga pada esai yang judulnya dipakai untuk mewakiltajuk “kitab” itu. Tubuhnya kembali bergidik setelah selesai membaca “esai inti” tersebut.
Ia mengasumsikan esai tersebut adalah pemekaran dari esai ketiga tadi. Ia juga menilai bahwa proses kepenulisan ternyata tidak seelegan bayangannya: ia membayangkan sebuah makanan lezat dan bergizi tinggi yang dihasilkan dari percampuran dua makanan yang tidak lazim (bayangkan saja indomie goreng campur dawet durian).
Namun pikiran pemuda kita ini mulai membandingkan apa yang dilakukan penulis buku ini dengan dirinya. Jika penulis buku ini, setelah melakukan proses kreatif kepenulisan—yang menurutnya bagaikan menghasilkan makanan lezat dan bergizi tinggi dari mencampur dua makanan tak lazim—berhasil melahirkan sebuah karya tulis atau setidaknya ada perkembangan tulisan, maka apa yang dihasilkan pemuda itu jika menirunya?
“Skripsiku akan hancur dan kemudian kena D.O,” ucapnya geram.
Namun pikirannya tiba-tiba beralih mengingat “Semangat Promethean” pada esai pertama. Semangat kepenulisan yang mencerahkan atau membuat masalah. Pemuda kita ini merasa memiliki semangat itu.
Ia teringat pada ingatan laporan magangnya yang dapat selesai akibat ia meminta dua fail laporan dari temannya. Ingatan lain juga muncul saat bagaimana salah satu kawan KKN-nya, yang sekarang sudah lulus, selalu menampilkan puluhan skripsi kakak tingkatnya, yang kemudian menjadi urutan minimize pada layar dekstopnya. Tentu puluhan skripsi kating itu sebagai rujukan untuk membuat skripsinya sendiri.
Ia sekarang tahu apa yang harus ia lakukan saat tidak menulis skripsi. Sebelum ia memilih musik yang cocok untuk menulis, sebelum ia memilih hari baik untuk menulis, dan sebelum ia malah melakukan kesibukan yang sia-sia yang tidak berdampak pada perkembangan skripsinya—meskipun harus dikatakan kesibukan itu juga termasuk bekerja, membantu orang tua, atau melakukan kegiatan sosial, dan kegiatan bermoral lainnya.
Ya, ia mencerca diri yang malas membaca dan mempelajari tetek bengek perskripsian. Ia mesti banyak mencuri api demi nyala apinya sendiri. Dan dalam mencuri api itu, dia tidak akan memulai untuk mencoba menulis, tapi memperbanyak membaca.
Ia menutup “kitab motivasi skripsi” itu karena sadar tidak akan menemukan “masalah” untuk pijakan pertama skripsinya. Tapi ia malah mengetahui beberapa masalah yang akan dihadapi ketika seseorang menulis, dan ia akan mencoba mengatasinya.
Karena, sekali lagi, menulis itu sulit, berat, dan menyakitkan!
Penulis: Airlangga Wibisono
Penyunting: Lindu A.