Sumber gambar: Instagram
Perhelatan tahunan pemilwa usai juga pada Selasa (13/12) lalu, dengan diumumkannya hasil rekapitulasi suara oleh KPU KM UNY. Itu pun setelah terjadi perpanjangan lini masa pemilwa selama sepekan dari yang semula dijadwalkan akan purna pada 7 Desember 2022.
Usut punya usut, ternyata perpanjangan tersebut disinyalir lantaran pesta demokrasi tahunan di tanah FIP kurang persiapan. Bahkan, pelantikan anggota Bawaslu dan KPU FIP UNY baru dilakukan pada akhir November silam, atau sepekan sebelum hari H pencoblosan.
Berkaca dari rumah sendiri, KPU FT UNY telah terlebih dahulu terbentuk jauh hari, yaitu pada minggu kedua bulan November yang dibuktikan pada rilis panitia di laman resminya.
Perubahan lini masa tidak mempengaruhi agenda yang telah disusun KPU FT UNY karena tidak terjadi perubahan yang signifikan setelahnya selain perpanjangan kampanye paslon dari 6 hari menjadi 12 hari.
Namun, ada beberapa hal yang luput dari sorotan pemilwa kali ini. Kejanggalan-kejanggalan yang perlu kita ulik bersama demi menuntaskan tanda tanya yang menyelimuti euforianya.
Ada perpanjangan pendaftaran khusus untuk Hima, tapi mengapa tidak untuk DPM?
Ini bukanlah fenomena yang kali pertama, sebab tahun ini hanya berupa perulangan dari tahun sebelumnya. Sebutlah pada pemilwa 2021 lalu, perpanjangan khusus untuk pendaftaran calon ketua hima bahkan dibuka sampai 3 ormawa sekaligus (Hima Elektro, Himagana, dan Anggota DPM).
Tahun ini ternyata hanya dibuka untuk Himagana saja setelah diberikan perpanjangan waktu sebanyak dua kali berdasarkan pertimbangan urgensi regenerasi organisasi tersebut.
Tidak hanya kosongnya kursi calon kahim di jurusan paling utara saja yang mengherankan, pemilihan legislatif anggota DPM pun turut serta mengiringi fenomena tahunan ini. Kekosongan calon anggota rupanya bukan sebagai alasan utama perpanjangan lini masa.
Terkait hal ini, KPU FT UNY memberikan pernyataan bahwa mereka telah memfasilitasi siapa saja calon anggota DPM yang hendak maju ke Pemilwa 2022 ini, sayangnya hingga hari penutupan, nihil calon.
“DPM kan ada delegasi dari masing-masing ormawa, walaupun tidak ada syarat harus ikut atau mewakili ormawa tertentu. Pemilihannya juga dilakukan secara musyawarah,” jelas Yulia Mitayani, Ketua KPU FT 2022.
Melalui surat permohonan maaf dan permohonan mengikuti pemilwa yang ditandatangani oleh Ketua Himagana 2022 dan diajukan ke Mahkamah FT UNY, satu calon berhasil ditetapkan sebagai peserta pemilwa, yakni Nur Annas Bagus Susetyo, dengan status awal lolos bersyarat sebagaiman terpublikasi dalam Berita Acara Nomor 04 KPU FT UNY.
Ihwal perpanjangan waktu khusus untuk kekosongan calon ketua serta dasar pembuatan surat permohonan kepada KPU agar diloloskan sebagai peserta pemilwa menjadi fenomena yang perlu didiskusikan dan ditegaskan lagi regulasinya pada Uji Publik Peraturan Fakultas edisi mendatang.
Hal tersebut dimaksudkan sebagai koordinat utama lahirnya peraturan baru, serta mencegah adanya pelanggaran atas kejadian di luar ranah kebijakan yang dilakukan oleh komponen pemilwa itu sendiri.
Nama Calon Ketua Himagana kok tiba-tiba berubah?
Kalau kamu cermati, ada kejanggalan pada kemunculan nama calon ketua Himagana yang tiba-tiba saja berganti, dari yang semula adalah Nur Annas Bagus Susetyo menjadi Dyah Ayu Qarina.
Pasalnya, pada Berita Acara Nomor Pemilwa FT UNY 2022 yang disahkan pada 25 November 2022 pukul 16.40 WIB menyebutkan bahwasanya Nur Annas Bagus Susetyo ditetapkan sebagai calon ketua dengan ketentuan lolos bersyarat.
Sedangkan, pada Berita Acara Nomor Pemilwa FT UNY 2022 yang disahkan pada 27 November 2022 pukul 13.10 WIB, hasil verifikasi peserta pemilwa ujug-ujug mencantumkan nama Dyah Ayu Qarina sebagai calon ketua Himagana.
Lalu, pada rilisan berikutnya, yakni Berita Acara Nomor Pemilwa FT UNY 2022 yang terbit pada 27 November 2022 pukul 14.05 WIB, tidak sampai satu jam setelahnya, Dyah Ayu Qarina bahkan sudah mendapatkan nomor urut pencalonan.
Tidak berhenti sampai di situ, dalam Berita Acara Nomor Pemilwa FT UNY 2022 yang rilis pada 27 November 2022 pukul 15.45 WIB, Dyah Ayu Qarina malah baru dinyatakan bahwa dirinya lolos verifikasi berkas dan berhak mengikuti pemilwa.
Hal ini tentu menjadi kerancuan tersendiri dari sisi kronologis. Bagaimana bisa Dyah Ayu Qarina justru mendapatkan nomor urut pencalonan terlebih dulu, bahkan sebelum dirinya sah sebagai peserta pemilwa?
Terkait hal ini, KPU FT UNY mengonfirmasi bahwa kegagalan Nor Annas Bagas Susetyo melaju ke tahap selanjutnya ialah karena kerumpangan administrasi berkas. Nor Annas tidak melampirkan Kartu Rencana Studi dan Surat Keterangan Sehat.
Lantas, mengenai pergantian nama calon yang terkesan mendadak, KPU FT UNY menjawab bahwa hal tersebut murni kekeliruan.
“Kami mengikuti alur Bawaslu dan Mahkamah. Keputusan pergantian bakal calon ketua Himagana berdasarkan musyawarah dari tiga komponen pemilwa, yakni KPU, Bawaslu, dan Mahkamah,” ujar Yulia.
Hanya 1.843 mahasiswa dari 7.031 DPT yang memberikan suara?
Perihal golput juga tidak pernah luput untuk dibahas. Dari penghitungan golput dalam Pemilwa Ketua BEM Fakultas saja, FT menduduki peringkat pertama sebagai fakultas tergolput. Sekitar 9% mahasiswa FT memilih golput daripada mencoblos calon yang ada atau kotak kosong.
Padahal, teknis pemungutan suara telah dibuat voting digital dengan sistem yang terpusat. Praktis, mahasiswa bisa memberikan suaranya melalui gawai masing-masing dan di mana saja. Nyatanya, fleksibilitas ini pun tak mampu mengerek angka partisipasi politik FT yang tahun ini hanya mandek di angka 26,2% saja.
Membahas sedikit tentang sejarah golput, istilah ini awalnya merujuk pada gerakan menusuk bagian putih kertas suara agar hasilnya tidak sah dan tidak dihitung di era Orde Baru menjelang Pemilu yang dilakukan pada 5 Juli 1971 silam, bahkan kelompok pemuda sampai membuat simbol golput buatan seniman Balai Budaya.
Seorang mahasiswa USU, Mas Rizal Ricardo Sagala, pernah meneliti fenomena golput dalam skripsinya, dua tahun silam. Dari riset tersebut, didapatkan fakta bahwa motif mahasiswa memilih untuk golput (no voting decision) itu terbagi menjadi empat macam, yaitu motif teknis, pragmatis, politis, dan teknis-politis.
Masing-masing motif tersebut bahkan masih berpotensi untuk saling berkelindan dan bermuara pada keputusan yang sama: golput. Beberapa di antaranya bahkan sampai pada tahapan yang lebih ekstrem, yakni antipati terhadap tetek bengek yang berbau politik.
Apa lacur, pesta demokrasi kampus yang digadang-gadang meriah, nyatanya cuma buih-buih hiperbolis belaka. Oh, barangkali itu tetaplah “pesta” bagi para pemenangnya, ya?
Minimnya daya partisipasi ini tentu menjadi ironi tersendiri di kalangan mahasiswa, khususnya FT. Literasi perihal regulasi pemilwa berupa Peraturan Fakultas maupun Surat Keputusan perlu ditingkatkan agar kelangsungan “pesta demokrasi” di FT pada tahun mendatang bisa lebih ramai dan berjalan lebih optimal.
Lantas, mengapa FT selalu tidak bisa berefleksi atas kejadian-kejadian tahun sebelumnya?
Penulis: Resti Damayanti
Penyunting: Lindu A.