Transisi Kuliah Luring: Antara Dosen dan Mahasiswa, Siapa yang Belum Move On?

Sumber gambar: Pexels

“Dosennya minta isi polling di Telegram ya, buat pembelajaran besok.”

Itulah notifikasi yang tak jarang muncul dari group chat mata kuliah sebagai awal dari hari-hari monoton mahasiswa. Sebuah kalimat pembuka percakapan yang memicu “kesabaran” level akut. Apalagi jika itu terjadi pada jam-jam yang mengharuskan mahasiswa mencari jalan pintas untuk menghindari kemacetan jalan. Capek dan bising. Tentu saja hampir semua penimba ilmu ini akan memilih kenyamanan dengan belajar di rumah, tanpa harus repot-repot terkena emisi gas karbon yang tidak diinginkan.

Fyuh, udah dingin-dingin mandi pagi, eh malah daring. Tau gitu mah, cuci muka aja cukup terus balik selimutan lagi!

Nah, layaknya bentuk pemerintahan negara Indonesia yang merupakan negara demokrasi dengan menjunjung tinggi asas tinggi kedaulatan rakyat, sistem polling ini juga diterapkan demikian di rubrik kehidupan yang lebih kecil, yakni kelas perkuliahan. Suara terbanyak yang memenangkan voting akan menentukan bagaimana mata kuliah esok hari berlangsung. Akankah itu berlangsung daring atau malah sebaliknya, yakni pembelajaran tatap muka di kelas luring.

Faktanya, sistem polling atau voting yang belum lama disediakan aplikasi perpesanan ini merupakan sebuah fenomena ‘daring yang tertunda’. Kalau diperjelas, kemungkinan seseorang kembali mengunjungi zona nyaman saat multitasking bisa saja terjadi, bahkan saat ujian berlangsung. Riil, Bos!

Ada Izin Kuliah Luring, Kenapa Tidak Digunakan?

Meski telah mengantongi izin untuk mengadakan pembelajaran full tatap muka alias luring di kampus, untuk mata kuliah teori maupun praktek, kebiasaan akan perkuliahan yang dilakukan secara daring dengan media virtual masih sangat sering ditemui.

Hal itu bisa saja terjadi karena ada kesepakatan yang telah dibuat antara pihak pengajar dan yang diajar. Lazimnya, kesepakatan ini akan dibahas sejak awal masuk saat pembahasan Rencana Pembelajaran Semester (RPS) dalam bentuk kontrak belajar. Akan tetapi, bisa saja kesepakatan itu merupakan sebuah keputusan sepihak dibarengi beragam alasan dengan kecenderungan personal yang mengiringinya. Atau dengan kata lain: serba dadakan!

Padahal, ruangannya pun sudah dijadwalkan dan dibersihkan. Fasilitas yang cukup mendukung juga telah disiapkan agar pelaksanaan kuliah luring sepenuhnya bisa dilakukan.

Lalu, apalagi yang dibutuhkan?

Ya, mental kuliah luring, lah!

Daring adalah Koentji!

Layaknya manusia pada umumnya, dosen juga memiliki karakter yang beraneka ragam. Namun, ada salah satu kesamaan para dosen yang diketahui sebagai rahasia umum. Ilmu dan performa mengajar yang beliau-beliau ini berikan saat pembelajaran daring tidak akan sebaik saat pembelajaran tatap muka berlangsung.

Hal itu jelas faktanya, bahkan sudah pernah kita alami selama dua tahun belakangan. Penggambarannya dapat dikulik lagi seperti pengalaman pembelajaran yang sebelumnya pernah dijalani. Bahkan, hanya untuk sekedar percakapan dua arah saja sulit tercipta. Tak ayal, ada pendidik yang lebih memilih untuk menerobos menjalankan kewajiban mengajarnya untuk menuntaskan beban moral, daripada merasa sakit hati atau tersinggung akibat tidak ada respon dari murid didiknya. Tapi, tentu saja tidak semua staf pengajar begitu. Tidak bisa dinilai apple to apple antara tiap staf pengajar. Kembali lagi, semua orang memiliki karakter yang berbeda-beda.

Sepertinya daring adalah solusi. Pepatah baru yang menjadi nyata, khususnya di dunia perkuliahan pascapandemi seperti saat ini. Saat berhalangan hadir, kebanyakan pendidik akan lebih memilih untuk mendaringkan pembelajaran. Dari sisi Penanggung Jawab (PJ) kelas pun diuntungkan. Tidak perlu repot-repot untuk mencari kelas kosong yang nantinya akan digunakan untuk proses pembelajaran. Apalagi harus mencocokkan jadwal antara dosen dan mahasiswanya. Duh, ribet kali.

Selain itu, mahasiswa juga tidak perlu repot-repot bolak-balik mengisi-habiskan bensin yang ada di tangki motor mereka hanya untuk menerima enam puluh menit materi pelajaran. Apalagi mahasiswa Pulang-Pergi (PP) yang bahkan membutuhkan dua kali lipat dari waktu pembelajaran untuk ulang-alik rumah-kampus-rumah. Jelas daring adalah koentji untuk efisiensi kantong dan energi mahasiswa.

Benar saja, apalagi jika sang dosen baru mengkonfirmasi hanya beberapa menit sebelum jam pembelajaran dimulai dan para mahasiswa sudah stay di kampus bersiap mengikuti kelas luring.

‘Pembelajaran hari ini dilaksanakan secara daring asinkron, ya. Kerjakan tugas yang ada di Besmart.”

Walah, Gusti, bensinku!

Belum lagi kalau ada drama buru-buru. Apalagi lampu lalu lintas yang tiba-tiba selalu merah semua saat akan berangkat.

Haess, rungkad!

Autopilot-Study-Life

Buka tautan kelas-presensi-penugasan. Kurang lebih begitulah daily life kuliah daring. Kalau dikatakan bosan, tentu saja. Kurang memuaskan rasanya. Mengingat ambience perkuliahan daring amat menjenuhkan.

“Kalau tau bakalan daring seminggu ini, mending aku balek kampung aja.”

Kurang lebih begitulah sambatan mahasiswa rantau terkait sistem pembelajaran yang katanya masih abu-abu antara online atau offline. Sudah motivasi meraih cita-cita yang naik-turun kayak harga sembako, ekspektasi orang tua yang selangit, plus modal buat beli kuota internet yang enggak murah juga.

Sampai terkadang ada rasa dilema yang terjadi. Antara mau realistis dengan keadaan atau idealis dengan harapan?

Ya, pengennya sih, belajar yang benar-benar belajar. Bersemangat bisa mendapatkan ilmu baru setiap harinya biar pas lulus kuliah nanti bisa berguna bagi bangsa, negara, dan alam semesta. Tapi terkadang, masalahnya itu bukan di kita aja, tapi keadaan eksternal juga. Lha wong, apa-apa masih sesuai mood beliau yang mengajar. Kami yang hanya remah-remah UKT ini bisa apa?

Ya, bisa ngabisin voucer kuota sama bensin, lah!

Jadi, antara dosen dan mahasiswanya, siapa yang masih belum bisa move on dari perkuliahan daring?

Penulis: Isna Septi Wahyuni

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *