Prosesi potong tumpeng dalam acara Jagad Mandala. (Ikhwan/Wartafeno)
Tatkala warga berbondong-bondong mengiringi gunungan di atas mobil, suatu pagi di Jomboran, poster penolakan tambang terpampang galak menghiasi sisi jalan. Lantang menyuarakan kata tidak terhadap eksploitasi lingkungan secara serampangan.
Adalah Paguyuban Masyarakat Kali Progo (PMKP) bersama Koalisi Anti Tambang Yogyakarta yang menggelar acara “Jagad Mandala” dalam peringatan Hari Anti Tambang yang jatuh pada Senin (29/5) lalu.
Ada empat dusun sekitar Kali Progo yang tergabung dalam PMKP, yaitu Dusun Nanggulan, Dusun Jomboran, Dusun Pundak Wetan, dan Dusun Wiyu. Serangkaian acara sudah berlangsung sejak hari Sabtu (27/5) berupa rembuk warga hingga pada acara puncaknya pada hari Minggu (28/5) di Jomboran, Kelurahan Sendangagung, Kapanewon Minggir, Sleman.
Minggu pagi itu, warga mengadakan kirab menggunakan mobil dan motor membawa dua gunungan hasil alam dari pekarangan dan bantaran Kali Progo. Rute kirab bermula dari Dusun Jomboran menuju pertigaan Dusun Tengahan, ke Dusun Sembuhan, ke Jalan Godean menuju Perempatan Kenteng, ke Dusun Wiyu menuju Dusun Pundak, ke Lapangan Kebon Agung, lalu kembali ke Kali Progo tempat acara puncak berlangsung.
Cacat Prosedur
Ketua PMKP, Iswanto mengungkapkan bahwa warga menolak pertambangan pasir di Kali Progo karena adanya penggunaan alat berat berupa ekskavator dalam aktivitas tambang yang berlangsung sejak tahun 2019 itu.
Warga cemas karena berpotensi membuat tebing sekitar Kali Progo menjadi rawan longsor mengingat lokasi penambangan dekat dengan permukiman warga. selain itu, cacat prosedur menjadi fakor utama penolakan.
Iswanto menyebut bahwa tambang yang diprakarsai oleh PT. Citra Mataram Konstruksi (CMK) dan Pramudya Afghani itu cacat secara prosedural karena tidak melakukan sosialisasi kepada seluruh warga setempat yang terkena dampak tambang secara langsung. Tidak adanya sosialisasi tersebut menurutnya juga berarti tidak ada pula kesepakatan antara pihak penambang dengan warga sebagai yang terdampak.
Menurut Wandi Saputra dari LBH Yogyakarta, ia mengungkapkan prasyarat pengeluaran izin harus melalui dua tahapan sosialisasi. Sosialisasi pertama dilakukan ketika pihak penambang telah mengantongi izin eksplorasi. Lalu, sosialisasi kedua saat penambang masuk izin operasi produksi.
Sosialisasi ditujukan kepada warga terdampak dengan mengundang 5 instansi terkait yaitu BBWS (Balai Besar Wilayah Sungai), DLHK (Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan), DPPM (Dinas Perizinan dan Penanaman Modal), PUPR (Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang), Inspektur Tambang, dan perangkat desa terkait.
Melihat kejadian, menurut Wandi, cacat prosedur pada izin tambang terjadi karena tidak mengakomodir partisipasi publik dan hanya melibatkan segelintir orang di luar Dusun Jomboran.
“Tidak boleh mereka hanya melibatkan segelintir orang, yang itu tidak mengakomodir warga pinggiran Kali Progo,” ujar Wandi menegaskan.
Ia menambahkan bahwa PT. Citra Mataram Konstruksi (CMK) melakukan pelanggaran konsesi tambang karena mereka melewati batasan-batasan konsesi dari hulu ke hilir. Jam operasional kerap melewati waktu penambangan yang seharusnya tidak lebih dari jam 17.00 WIB.
Sementara itu, Dimas dari Walhi Yogyakarta mengatakan bahwa pihak tambang menggunakan normalisasi sungai untuk alasan penambangan, padahal daerah Jomboran dan sekitarnya tidak termasuk wilayah penambangan. Oleh karena itu, normalisasi tersebut perlu ditinjau ulang karena terlalu bias dan lentur pendefisiannya, bahkan sering menjadi dalih dalam melakukan ekspansi modal.
“Itu menjadi celah mereka untuk melakukan tambang. Sungai itu ada sempadannya, ada bantarannya. Nah, itu satu kawasan. Harusnya dalam satu kawasan tidak boleh dilakukan penambangan, harus dilindungi. Tapi yang terjadi malah ada penambangan besar besaran,” ungkap Dimas.
Tambang yang berada di Jomboran bagian atas seharusnya selesai pada 14 Juli 2023 tepatnya pukul 07.00 WIB. Menurut keterangan Iswanto, pihak penambang telah mengajukan lokasi penambangan baru di Dusun Jomboran bahkan telah melakukan pertemuan dan rapat dengan warga setempat bertempat di sebuah pondok makan di Kelurahan Sendangmulyo, Minggir, Sleman.
Dalam pertemuan tersebut, warga Jomboran dan Nanggulan sepakat untuk menolak adanya lokasi penambangan baru.
Aksi Penolakan Tambang
Kilas balik ke tahun 2020, tercatat sebanyak 18 warga Jomboran yang dilaporkan ke Polres Sleman dan telah dilakukan pemanggilan. Mereka dikenakan pasal 162 UU Minerba yang menyatakan bahwa setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan Usaha Pertambangan dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Menurut Iswanto, dengan tidak adanya sosialisasi maka menjadi wajar bila warga melakukan aksi penolakan tambang.
“Tapi, (aktivitas pertambangan) ini belum ada kesepakatan kita bersama. Kan wajar kami (warga Jomboran) mempertanyakan: ‘Seandainya (alam) rusak, siapa yang bertanggung jawab?” Iswanto melempar tanya sebelum melanjutkan, “Sudah seharusnya reklamasi, (tapi) sampai sekarang belum ada reklamasi juga.”
Menanggapi hal ini, Wandi menilai seharusnya polisi bisa lebih objektif. Menurutnya, warga dalam penyampaian orasi dan aksi tidak melakukan pelanggaran. Namun, sangat disayangkan justru dimaknai polisi bahwa warga menghalang-halangi izin pertambangan.
Menurut Wandi, warga tidak bisa dikenakan tindak pidana dan perdata bila mengacu pada pasal 66, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup (UU PPLH), yang menyebut bahwa setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.
Penampakan salah satu lokasi penambangan di Kali Progo. (Ikhwan/Wartafeno)
Bardi, warga Dusun Pundak Wetan, turut memberikan kesaksian, ketika warga Pundak Wetan melakukan aksi penolakan menggunakan spanduk, tetapi aksi mereka mendapat tindakan dari pihak kepolisian. Padahal, menurutnya, warga memilih penyampaian aspirasi secara tekstual menggunakan spanduk yang ditempel di beberapa tempat karena dinilai “lebih halus” daripada menggelar aksi massa.
Menanggapi kejadian tersebut, Wandi cukup menyayangkan karena menurutnya, “Hak asasi manusia terkait dengan bebas berekspresi itu dibolehkan dan itu diakomodir di Undang-Undang perlindungan.”
Kompleksnya Dampak Pertambangan
Dampak adanya tambang cukup kompleks. Mulai dari debit air yang berkurang, kenyamanan warga menjadi terganggu, hubungan sosial di masyarakat yang berubah hingga bencana tanah longsor.
Bardi mengungkapkan, tambang pasir yang ada berdampak pada menurunnya volume air Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (PAMSIMAS) di Dusun Pundak Wetan. Pada bulan Januari lalu, warga memeriksa volume air sumur turun jadi 1,5 meter. Padahal, dulu volume sumur tersebut bisa sampai 2 meter.
PAMSIMAS pada mulanya dibuat pada tahun 2015, tetapi tidak berhasil dan hanya berjalan selama dua bulan, pun setelah melakukan perbaikan hanya bisa digunakan selama dua bulan.
Setelah vakum selama setahun tidak ada kegiatan, pada tahun 2017, warga kembali membuat sumur di tempat yang berbeda, tapi sayang, sumur sudah mengering bahkan sebelum dipakai. Berselang setahun kemudian, terdapat kedung yang sudah kering kemudian dibangun PAMSIMAS, dan dapat digunakan sampai sekarang.
PAMSIMAS menjadi sumber air minum untuk empat padukuhan dan memiliki 300 sambungan bahkan lebih. Sumber air sumur tersebut berasal dari Kali Puru, yang di tempat ini menjadi pertemuan dengan dua kali lainnya, yaitu Kali Tinalah dan Kali Progo.
“Air PAMSIMAS berasal dari air Kali Puru. Cuma kalau di situ terus digali, akhirnya air turun dan air sumur PAMSIMAS juga ikut turun. Khawatirnya, nanti kelamaan kering,” ungkap Bardi.
Berbeda dengan Dusun Wiyu dan Jomboran, Pundak Wetan memiliki tebing-tebing curam yang berbatasan langsung dengan Kali Progo. Tebing terlihat sudah bergaris dan retak dengan adanya aktivitas penambangan menggunakan ekskavator menimbulkan getaran-getaran yang mempercepat terjadinya longsor. Bardi mengungkapkan bahwa tebing pundak wetan setiap tahunnya menjadi langgaran bencana longsor.
Pengakuan dari seorang warga Jomboran juga menyayangkan adanya tambang di dusunnya karena merusak keindahan alam Kali Progo. Selain itu, ia mengeluhkan polarisasi sosial akibat adanya tambang di kampung halamannya. Membuat kondisi sosial di masyarakat menjadi terpecah belah antara pihak yang pro dan pihak yang kontra terhadap tambang.
“Dulu bisa kerja bakti bersama, sekarang tidak bisa dilakukan,” ungkapnya.
Sementara itu, Gagi, warga Dusun Wiyu, mengungkapkan bahwa kondisi air di dusunnya menjadi berbau tak sedap dan debit airnya pun berkurang. Untuk mencukupi kebutuhan air di rumahnya, minimal setahun sekali ia harus mengeluarkan biaya sebesar 8 juta rupiah untuk memperdalam sumur di rumahnya. Kalau tidak, ia harus memasang air PDAM atau membeli air galon dan itu juga mengeluarkan biaya lebih.
“Delapan juta itu, Mas, seharusnya bisa digunakan untuk biaya anak sekolah,” ujar Gagi meratap.
Kebisingan proses produksi tambang mengganggu kenyamanan warga, tak terkecuali anak-anak. Proses pengayakan (pemisahan antara batu dan pasir) menimbulkan suara bising. Membuat anak-anak harus menggunakan alat bantu headset dan semacamnya agar tetap bisa konsentrasi belajar.
Dulunya anak-anak Dusun Wiyu sering bermain layang-layang dan memancing di bantaran Kali Progo. Namun, sejak adanya tambang, membuat aliran air semakin deras dan volume kali semakin dalam sehingga membuat anak-anak takut untuk bermain di bantaran Kali Progo.
Pesan Melalui Gunungan
Saat kirab, warga membawa gunungan yang merupakan ulu wetu (hasil bumi) warga Jomboran, baik dari pekarangan maupun dari bantaran Kali Progo. Hal ini sebagai bentuk syukur dan wujud doa bersama.
“Air Kali Progo hasilnya ini, lho. Hasil alam yang benar-benar bisa kita rasakan bersama-sama manfaatnya. Kalau air Kali Progo diganggu, kita tidak akan menghasilkan itu. Kita inginnya tetap terus lestari selamanya,” ungkap Gagi berharap.
Warga memikul gunungan hasil alam Kali Progo. (Ikhwan/Wartafeno)
Selain gunungan, pertunjukan seni juga turut memeriahkan acara tersebut. Bardi mengungkapkan bahwa pendekatan melalui kesenian dan budaya rakyat lebih bisa mengedukasi tentang kesadaran menjaga kelestarian lingkungan ke masyarakat.
Senada dengan itu, Gagi menyampaikan, “Lewat seni membuat warga menjadi semangat memperjuangkan lingkungan, dan nguri-nguri kabudayaan.”
Dimas mengatakan Hari Anti Tambang hanya sebuah proses simbolik untuk menolak tambang. Namun, penolakan terhadap perusakan lingkungan harus tetap dilakukan setiap harinya.
“Kita harus mengawalnya setiap hari. Hantam (Hari Anti Tambang) ini menjadi satu langkah yang membawa kita ke step-step selanjutnya agar kita mampu mengembalikan kondisi lingkungan kita ke kondisi yang lestari,” tutur Dimas berpesan kepada masyarakat luas.
Penulis: Ikhwan Jati
Penyunting: Lindu A.