Tidak Lain Untuk Cari Kekuasaan

(Menanggapi Kenapa Rakyat Mau Jadi Wakil Rakyat)

Oleh Teguh Iman Perdana

Selamat pagi, siang atau sore. Salam hormat buat sampeyan gus. Saya memanggil gus kepada sampeyan bukan karena sampeyan anak kiyai, bukan juga anak ustadz, apalagi anak pendiri pesantren. Lha wong sholat saja entah, iya kan gus? Cuma satu hal yang mendasari saya memanggil sampeyan‘gus, yaitu agar sampeyan dapat menyaingi gus Tommy yang duluan ditasbihkan menyandang gelar gus oleh forum partainya sendiri.

Membaca tulisanmu yang berjudul “Kenapa Rakyat Mau Jadi Wakil Rakyat?”, menggugah nalar dan rasa simpati yang besar bagi semua kalangan, rasanya. Dengan catatan pembaca tersebut masih mempunyai rasa bagi kemanusiaan. Tapi gus, apakah tepat jika sampeyan menuliskan, “Wakil rakyat itu lebih rendah dari rakyatnya, rakyatlah yang menduduki kuasa tertinggi, sedangkan Presiden, dan DPR hanyalah wakil kita, wakil rakyat” . Waduh gus, saya sedikit terpingkal-pingkal membacanya, lha gimana tidak, sampeyan ini gus, seperti sedang mimpi saja. Ungkapan utopis seperti itu hanya ada di buku Pendidikan Kewarganegaraan SMP atau SMA. Sampeyan hidup di dunia nyata gus, lebih spesifik lagi di Indonesia, artinya kalimat sampeyan itu adalah kalimat yang utopis seutopis-utopisnya. Lha iya gus, mereka sudah capek tenaga, capek pikiran demi mencapai kekuasaan, bahkan mengeluarkan banyak modal sampai-sampai menjual tanah, rumah, mobil, kehormatan, dan segalanya, lantas mau menjadi rendah serendah ungkapan gus tadi? Ayoyo, tidak mungkin gus.

Sumber gambar: Inilah.Com

Rakyat ya tetap rakyat gus, tidak ada sampai sekarang yang rela mengeluarkan banyak harta benda demi kemanusiaan lainya lantas tidak memikirkan keuntungan yang akan diraih setelahnya. Ingat saja Prinsip ekonomi gus yang susah payah dibuat oleh Mbah kita, “Mengelurkan modal sekecil-kecilnya dan mendapat untung sebesar-besarnya”, lha ini malah mengeluarkan modal yang sebesar-besarnya dan mungkin harus mendapatkan hasil sejumbo-jumbonya. Saya juga teringat akan ungkapan Sujiwo Tejo, bahwa tidak ada sensus yang menyatakan apakah wakil rakyat yang terhormat, yang telah duduk dan ongkang-ongkang kaki di ruangan ber-AC seperti kata gus tadi mau menjadi rakyat lagi.

Gus tak usah heran dan risau, kenapa mereka mau mencalonkan diri menjadi wakil kita, justru sebenarnya ungkapan ini malah menjadi suatu PR bagi kita, sebenarnya mereka ini benar benar wakil rakyat atau wakil kepentingan?wallohualam.

Wajar sekali jika mereka memiliki gaji 4 sampai 15 juta dilengkapi dengan tunjangan fasilitas kelas A dan tetekbengek lainya.Kan gus tahu, modal mereka menyuapi rakyat saat kampanye lebih besar, ingat gus, ingat prinsip ekonomi yang sering kita diskusikan. Soal penggolongan-penggolongan orang yang gus sebut, kita bahas yang pertama pertama dulu, yaitu ia yang mau menurunkan derajatnya menjadi wakil rakyat serta rela berkorban untuk rakyat. Ah gus, lagi-lagi utopis, bangun gus, bangun, sadar! Sampeyan terlalu lama terbuai oleh slogan-slogan idealis, lagian di dunia mana ada yang ideal gus? Maksud sampeyan itu menurunkan derajat bagaimana? Mereka naik ini memang untuk mencapai suatu kemanunggalan dalam hidup didunia, menjadi terpandang serta memiliki ini itu. Masalah rakyat? Ya nanti lah, asal bapak senang dulu, baru program jalan, He he.

Bagi saya, tulisan sampeyan itu begitu bagus sampai memunculkan dua golongan dalam tatanan wakil rakyat kita yang mungkin saya juga masih bingung rakyat yang dirujuk itu rakyat yang mana sebenarya. Namun dibalik semua itu, tentu saya bersyukur hal ini menjadi suatu pengetahuan baru bagi pembaca kita yang budiman.

Golongan kedua yang sampeyan sebut gus, “orang yang tidak paham arti kata wakil rakyat”. Waduh kok bisa sih gus? Mereka paham lah, saya sihhakulyaqin bahwa mereka mengerti esensi serta makna dari kalimat “wakil rakyat”. Mereka itu orang-orang terpelajar semua lho gus, kalau sampeyan menganggap mereka tidak paham dengan makna wakil rakyat, itu penistaan namanya. Hanya saja mungkin esensi bagi sebagian wakil kita (katanya), adalah wakil dari perasaan-perasaan yang tidak tersampaikan beragam kepentingan kelompok dan dirinya sendiri, wakil dari beragam proyek yang mengatasnamakan rakyat yang diwakilinya(?), serta wakil dari beragam fulus yang mengatasnamakan untuk kepentingan rakyat. Ya bagaimanapun mereka juga rakyat lho gus.

“Bukan golongan kami”, jelas, lagian siapa itu Tretan Muslim? Bisa-bisanya penista agama yang mencampur kurma dengan babi disebut dalam tulisanmu gus, jangan bawa-bawa mereka gus. Sampeyan mau dicap sebagai pembela penista agama? Sampeyan mau reputasi sampeyan sebagai penulis yang progresif dan revolusioner tercoreng hanya gara-gara biji kurma dan babi al haramin itu? Jangan sampai gus, na’udzubillah, sebagai kolega yang baik saya hanya ingin mengingatkan sampeyan saja.

Kemudian masalah korupsi. Korupsi itu sudah biasa gus, jangan kagetan deh. Mereka malah senang  kalau diciduk oleh badan anti rasuah, setidaknya muka wakil kita jadi terkenal, menjadi perbincangan di ILC, cafe, warung kopi, burjo bahkan di sekretariat kita tercinta gus. Setidaknya dengan terciduk tersebut gus, mereka bisa melambai-lambai tangan ke kamera namun bukan dalam artian menyerah seperti reality show yang ada di tv-tv, menandakan bahwa mereka baik-baik saja walaupun ditinggal pas lagi sayang-sayangnya mereka akan menjadi pesakitan dan menghuni hotel prodeo. Ya gimana ya, penjaranya saja serupa hotel bintang lima, kamar kosmu itu tidak seberapa jika dibanding toiletnya saja gus.

Ngapusi? Bukan ngapusi gus, mereka hanya takut rakyatnya menjadi ikut pusing bersama mereka karena dana kampannye nya belum juga terbayar lunas. Mereka hanya tidak mau rakyat yang diwakilinya ikut merasa susah, meskipun sebenarnya mereka baik-baik saja. Kurang mulia apa coba mereka ini?

Sebagai rakyat jelata seperti kita atau lebih tepatnya saya dan sampeyan, atau bisa disebut budak tua fakir cinta jika kata Joko Pinurbo, membayangkan uang pajak yang besar begitu tentu tidak akan sanggup gus. Jumlah manusia yang sangat banyak, kendaraan bermotor yang semakin hari semakin menyesakkan kota, tidak terhitung bagaimana dan seperti apa bentuk uang pajak tersebut. Entah dalam bentuk bendelan atau mungkin hanya dibiarkan berserakan begitu saja, sungguh gus saya tidak mampu untuk membayangkan, dan semoga antum juga tidak bisa sehingga diskusi kita akan selalu hangat seperti biasanya. Saya juga pesimis antum bisa membayangkan, lha wong beli Sam Soe saja masih eceran di angkringan.

Solusi-solusi yang konkrit telah sampeyan berikan dengan sangat halus, lugas, berwibawa, juga terksean intelek. Namun untuk solusi yang sampeyan beri yaitu mendirikan ruang baca, memberi rakyat kurang mampu beasiswa untuk tetap bisa mengenyam pendidikan yang tinggi agaknya sulit tercapai gus, mengapa? Dengan adanya rumah baca serta beasiswa sungguh akan menyulitkan mereka, sang wakil rakyat, untuk tetap bisa ngapusi, bahkan dinilai akan melahirkan generasi liberal dan cerewet. Baginya, rakyat hanya butuh kegembiraan yang fana, utopia seperti zaman saat the smileing general masih memimpin.

Semoga dengan adanya diskusi di media daring seperti ini, bukan menjadi senjakala kita seperti yang dikatakan oleh Bre Redana penulis kolom catatan minggu Kompas. Semoga sampeyan beserta wartawan mahasiswa lainya yang kadang diacuhkan oleh pihak birokrasi kampus masih memiliki semangat dan idealismenya sendiri dalam membela perikemanusiaan dan rakyat yang merasa terdzalimi oleh tangan usil wakil kita. Bukan malah menjadi wartawan kampus kinyis-kinyis yang hanya mementingkan kelompoknya sendiri, dan semoga dengan adanya diskusi daring seperti ini menjadi suatu kawah candradimuka dimana diskusi akan semakin alot dan menemukan solusi yang konkrit untuk kedepannya.

0 Responses

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *