Pesimis Positif, Seni Hidup Baik-Baik Saja

Source Gambar: Instagram

oleh: Lindu

Ya, kamu tidak salah baca. Pesimis positif. Perpaduan dua kata yang bertolakbelakang ini tampak begitu unik dan magis bagi saya. Pesimis yang berarti sikap atau pandangan yang ragu akan harapan baik, cenderung memikirkan hal-hal buruk dan negatif. Sementara positif berarti pasti, yakin atau mengiakan. Terma tersebut saya dapatkan ketika menonton sebuah video obrolan di kanal Youtube, yang diucapkan oleh Pidi Baiq selaku pembicaranya. Penulis trilogi novel Dilan itu memang dikenal sebagai pribadi yang unik dan nyeleneh, termasuk dalam berbicara dan menjawab pertanyaan. Tak heran jika apa yang diungkapkannya acap kali menggelitik telinga, namun juga tak jarang menyangsang di dalam benak.

                Jadi, apa pesimis positif itu?

Pesimis positif bisa diartikan sebagai pola pikir mengandaikan dan mempersiapkan suatu hal atau kemungkinan yang buruk dengan tetap berpikiran konstruktif dan bersikap tenang dalam menghadapi kenyataan. Nah, sudah jelas? Atau malah tambah bingung?

Jadi, misalnya begini. Kamu sedang jatuh cinta dengan seorang perempuan. Lalu ketika kamu akan menyatakan cinta padanya, di dalam benakmu kamu memersepsikan tindakanmu itu sebagai sebuah candaan (ketidakseriusan) dan berharap untuk ditolak.

                Hah? Gimana-gimana?

                Iya, jadi dengan begitu, ketika cintamu ditolak olehnya, kamu tidak akan kecewa dan tetap biasa-biasa saja karena kamu juga menganggapnya cuma “bercanda” dan tidak terkejut dengan penolakan itu. Ya walaupun pada dasarnya bukan cintamu yang ditolak olehnya, melainkan keinginan darimu untuk menjadikan dia sebagai milikmu yang tidak disepakati olehnya. Huaaa, Sok Crates sekaleee ~

Dan ketika cintamu diterima pun, ya sudah. Alhamdulillah, jalani saja. Anggap saja itu berkah dari keberanianmu. Bagaimana? Sudah mafhum?

Baca Juga: Mentas, Melepas Belenggu Kandas

Ah, kalau begitu namanya mematikan semangat dan motivasi dong?

Tenang, tunggu dulu. Justru, ini adalah revolusi semangat hidup yang visioner.

Kok bisa?

Jadi, asas atau dasar dari pesimis positif ini adalah merendahkan harapan dan meninggikan perjuangan. Dengan begitu, dalam keadaan down sekalipun kita tetap bisa memiliki semangat karena kekecewaan yang kita dapat tidak begitu besar karena harapan kita pun juga tidak terlalu tinggi. Simpelnya, seperti fusi antara berpikir rasional dengan bersikap realistis. Maka, perjuangan yang kita lakukan untuk mencapai suatu keinginan pun akan bertambah persisten dan kontinu.

Jadi, kita gak boleh terlalu berharap dong?

Bukannya tidak boleh, hanya saja lebih baik memperkecil persentase keputusasaan ketimbang memperbesar peluang kekecewaan, bukan?

Memang, usaha tidak akan mengkhianati hasil. Akan tetapi, sialnya, kita sering lupa bahwa ada harapan yang sering memalsukannya. Lalu, tolak ukur yang kiranya itu adalah usaha, tidak lain adalah harapan yang membumbung tinggi. Lain halnya jika kamu berpesimis-positif. Harapan yang kamu taruh tidak melangit, sehingga kamu akan berpegang pada perjuangan dan logikamu. Kamu bertumpu pada diri sendiri dan tidak menjadi manusia yang locus of control external.

Pesimis positif ini mengarahkan kita untuk bersikap tetap tenang, baik dalam berpengharapan maupun menghadapi kenyataan. Memang, tidak seperti optimis yang ambisius. Tetapi, ambisius berlebih pun bisa membunuh. Semakin besar rasa ambisius itu, maka kewaspadaan diri juga harus ditingkatkan. Ambisi yang berlebih hanya akan bermutasi menjadi sebuah ketamakan.

Bukankah ketenangan adalah sebuah kemewahan yang nadir? Bahkan ketenangan diri  sendiri pun hanya berasal dari diri kita sendiri, bukan? Tentang bagaimana untuk tetap merasa baik-baik saja dalam situasi apa pun. Bukankah tidak ada keadaan yang lebih baik daripada merasa baik-baik saja? Betapa luar biasanya kekuatan baik-baik saja itu, sungguh menenangkan jiwa. Kebahagiaan yang didapat pun berasal dari internal diri, bukan dari hal-hal yang ada di luar kendali pribadi manusia. Toh, menggantungkan kebahagiaan pada hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan adalah suatu hal yang irasional. Hmmm, kenapa jadi stoicism begini ya?

Memang, tidak salah kalau kamu memilih untuk menjadi optimis dan ambisius dalam hidup, tapi bukankah musuh terbesar dari dirimu ialah dirimu sendiri? Memikirkan persaingan hanya akan melahirkan perasaan cemas dan melemahkan. Toh, kamu tidak harus lebih baik dari orang lain, melainkan harus lebih baik dari dirimu yang kemarin. Begitu, kata Imam Besar The Panasdalam, Pidi Baiq.

Ihwal merendahkan harapan tadi, memang itu terkesan pesimistis sekali, tapi coba lihat sisi baiknya. Menaruh harapan yang bermuluk-muluk sama saja bermain-main dengan “macan” penyesalan yang sedang tertidur pulas. Ujung-ujungnya, kecele juga. Hal itu mengakibatkan kita sering kali menyalahkan keadaan dan realitas yang ada. Padahal, sebenarnya, bukan fakta kejadian yang membikin kecewa melainkan ekspektasi yang tidak sesuai, lah, yang menyebabkan rasa sesal dan kecewa itu muncul. Itulah kenapa penting untuk mengontrol jiwa tetap tenang dan perasaan tetap senang. Bukan maksudnya untuk hidup “bersenang-senang” saja dan mengabaikan kesedihan, akan tetapi untuk tetap berada pada konsistensi keadaan “baik-baik saja” dalam hidup yang harmonis dan dinamis ini.

Ya, semua itu kembali pada diri kita masing-masing. Hidup adalah seni memilih. Memilih untuk bagaimana berpemikiran, bersikap dan bertindak. Hatimu, kamu tuannya. Mau merasa senang atau tidak, kamulah yang menentukan. Rasa sedih dan kecewa kalau ada, secukupnya saja untuk memberi warna kehidupan. Semoga kita tetap baik-baik saja, walaupun hidup tidak selamanya akan baik-baik saja.

 Adios!

0 Responses

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *