Demo Omnibus Law di Kota Banjar, Mahasiswa Menolak Mendengar Jawaban Ketua DPRD

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law dalam Rapat Paripurna DPR RI, Senin (5/10). Buntutnya, beragam lapisan masyarakat terutama buruh dan mahasiswa serempak menggelar aksi di beberapa kota untuk menolak putusan tersebut.

Di Kota Banjar sendiri, Kamis (8/10) gedung halaman DPRD yang biasanya sepi dan hening, berubah menjadi ramai dan penuh teriakan serta sorakan penolakan. Sorakan dan teriakan tersebut bahkan terdengar hingga radius 20 meter dari gerbang masuk kantor DPRD.

Sebelum tiba di gedung DPRD, masa aksi ini telah dulu berkumpul di Taman Kota (Tamkot) pada pukul 08.00 WIB. Sedianya juga, akan diadakan aksi long march dari Tamkot hingga gedung DPRD, namun karena satu dua hal, rencana tersebut batal dan diubah menjadi konvoi ramai-ramai menggunakan motor dengan dikawal satu mobil patroli jalan raya.

Dalam aksi ini, masa aksi yang berdemo di depan gedung DPRD merupakan gabungan dari beberapa elemen masyarakat seperti buruh serta beragam organisasi mahasiswa yang dilebur dalam satu komando bernama Forum Aksi Masyarakat Banjar.

“Disini gabungan dari buruh, IMM, KAMI, dan yang lainya serta BEM universitas juga”, ungkap koordinator lapangan, Supriyatna.

Supriyatna pun menjelaskan bahwasanya dalam aksi ini ada 13 tuntutan yang diajukan kepada DPRD Kota Banjar, diantaranya adalah sebagai berikut:

  1. Kami DPRD Kota Banjar, menegaskan Menolak RUU Cipta Lapangan Kerja (Omnibus Law) karena dinilai lebih banyak menguntungkan pengusaha dibandingkan pekerja/buruh.
  2. Mendesak pemerintah mengambil langkah – langkah responsif dan efektif dalam upaya pencegahan pemecatan massal buruh yang terkena dampak dan wajib. memenuhi kebutuhan dasar pokok masyarakat Indonesia akibat Pandemi Covid-19 serta menghentikan pembahasan RUU Cipta Lapangan Kerja (Omnibus Law).
  3. Mendesak DPR yang merupakan representasi perwakilan rakyat dapat menyurakan sebuah keadilan akan adanya ketimpangan sosial pada RUU Cipta Lapangan Kerja (Omnibus Law) karena dinilai tidak manusiawi serta benar-benar mengeksploitasi pekerja/buruh.
  4. Menolak pasal 42 ayat 1 yang menjelaskan bahwa setiap pihak apabila mempekerjakan tenaga kerja asing (TKA) hanya perlu menyertakan surat izin secara administratif dari menteri terkait tanpa harus adanya alasan mendatangkan TKA dan kontrak batas kerja.
  5. Menolak penghapusan pasal 43 yang menjelaskan tentang alasan penggunaan tenaga kerja asing (TKA) secara tertulis.
  6. Menolak pasal 44 yang mengatur tentang adanya standar kompetensi (skill) bagi tenaga kerja asing (TKA).
  7. Menolak pasal 66 tentang outsorching yang berimbas pada eksploitasi tenaga kerja dan adanya pihak ketiga yang bertanggungjawab terhadap keselamatan dan kesehatan kerja (K3).
  8. Menolak pasal 77 yang mengatur tentang penghapusan pembatasan jam kerja, ketidakjelasan sektor / jenis usaha yang dapat menerapkan jam kerja diatas 8 jam, serta tidak adanya penjelasan upah minimum.
  9. Menolak penghapusan pasal 90 yang mengatur tentang penentuan upah berdasarkan UMP bukan UMR.
  10. Menolak pasal 151 tentang ketiadaan negosiasi antara pekerja dan perusahaan.
  11. Menolak pasal 154 A tentang tidak adanya kontrak kerja yang berimpas pada pemberhentian hubungan kerja (PHK) atau pengurangan jumlah pekerja secara sewenang-wenang oleh pihak perusahaan.
  12. Menolak penghapusan pasal 169 tentang tidak adanya kesempatan banding pada gugatan PHK dalam hubungan perusahaan.
  13. Menolak pasal 172 tentang penghapusan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) yang akan berimbas pada tidak adanya jaminan kesehatan bagi pekerja serta adanya dampak terhadap jasa asuransi.

Lebih lanjut, sebagai tindak lanjut dari aksi tersebut, Supriyatna menegaskan bahwa kedepannya akan sangat mungkin sekali diadakan aksi serupa. Namun kepastian kapan akan kembali dilaksanakan, dirinya menyebut hanya menunggu komando dari pusat.

“Kemungkinan akan ada aksi serupa. Tapi engga tahu kapan, kita menunggu komando dari pusat agar aksi ini serempak lagi” tuturnya.

DPRD Tidak diberi kesempatan menjawab tuntutan

Setelah meneriakan “revolusi”, lelaki berjaket merah dengan pengeras suara di tangan memberikan dua lembar tuntutan berisikan 13 poin diatas kepada ketua DPRD Kota Banjar, Dadang Ramdhan Kalyubi.

Namun sebelum dapat menjawab beragam orasi dan tuntutan yang dilayangkan, peserta aksi menolak mendengar jawaban dan memutuskan untuk bubar dan beranjak pulang.

Menurut Supriyatna, hal tersebut wajar dilakukan karena jawaban yang diberikan oleh ketua DPRD nantinya hanya bersifat pragmatis serta tidak akan ada tindak lanjut yang jelas.

“Buat apa disuruh jawab, orang nantinya juga paling cuma jawab ya saya akan tindak lanjuti, padahal engga ada tindak lanjut sama sekali”, pungkas Supriyatna.

Penulis : Teguh Iman Perdana

0 Responses

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *