Potret Literasi dari Lereng Merapi

Aku telah tiba di sini. Rumah seorang kawan yang terletak di Dusun Sengi, Desa Sengi, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang. Lumayan jauh, butuh berbulan-bulan lamanya jika kamu berjalan kaki dari kota London. Datang saja kalau ingin.

Hari sedang Kamis (27/8)  dan bulan akan segera September. Aku lupa pukul berapa tadi berangkat, yang aku ingat matahari sedang jingga-jingganya dan bersiap untuk terbenam. Jika hendak ke sini, sebaiknya kamu sediakan pakaian tebal karena hawa dingin akan menusukmu kejam. Maklum, Gunung Merapi hanya berjarak 9 km dari sini.

“Kok sendiri? Azi mana?” tanya Ahmad yang tampak heran melihatku datang sendiri kali ini. Agar tidak bingung anggap saja kami (aku, Ahmad dan Azi) dulu pernah bersekolah di tempat yang sama.

“Iya, lagi pergi dia,” jawabku seraya turun dari motor dan menghampirinya.

Kemudian aku pun masuk dan menyalami neneknya. Tak lama kemudian, kakak sepupunya, Edi (23) muncul dari bilik kamar dan kami bersalaman.

Sebelumnya, aku pernah beberapa kali datang ke sini hanya sekedar ngobrol dan bertukar cerita. Biasanya berdua dengan Azi dan kadang beberapa kawan yang lain.Tempat ini sejatinya rumah nenek Ahmad. Hanya saja karena tinggal sendiri, Ahmad dan Edi sering tidur di sini untuk menemaninya. Itu bukan masalah karena rumah Ahmad dekat dan masih satu desa. Tak jarang juga aku bertemu pemuda seumuranku datang ke sini, kalau tidak ngobrol ya nonton film bareng.

Kalimat takbir tanda waktu Isya tiba menggema. Sepulang dari masjid, kami kembali duduk dan tak lupa kubalut tubuhku dengan jaket, sebab suhu mulai memantik saraf korpuskula krauseku bekerja. Aku, Ahmad dan Edi duduk mengitari meja yang di atasnya terdapat beberapa camilan ringan, teko, gelas dan rentengan kopi sachet.

“Ini paketnya siapa, Mad?” kataku sambil memandang dua buah kardus yang ada di sebelah kananku.

“Oh, itu, buku donasi buat perpustakaan,” jawab Ahmad yang sedang meracik kopi untuk kami bertiga.

“Perpustakaan?”

“Iya, itu punya Omah Moco Nine (red-rumah baca swadaya yang saat ini diceritakan).”

“Banyak juga,” jawabku sambil memperhatikan paket yang dikirim dari Tangerang itu.

“Iya itu dari temennya Mas Edi,”

Kardus paket itu membuka obrolan lebih luas.

“Itu udah lama (Omah Moco) ada, Mad?” tanyaku dengan menyambut sebungkus kerupuk yang ditawarkannya.

Kemudian, Ahmad mulai bercerita. Bermula dari Edi yang melihat rumahnya nganggur karena ia lebih sering tinggal di rumah neneknya dan memiliki keinginan untuk membuka semacam rumah baca. Ide tersebut pun lantas dimusyawarahkan bersama teman-temannya dan ternyata menuai sambutan positif.

Lokasi rumah baca tersebut hanya butuh beberapa langkah saja dari rumah neneknya Ahmad.

Sementara Ahmad sibuk bercerita, Edi justru asyik dengan gitar di pangkuannya. Sayup-sayup terdengar ia sedang bernyanyi “ya Jamalu ya Jamalu”.

“Terus, rak-rak buku juga bikin sendiri?”

“Iya,  bikin sendiri, cat sendiri.”

Seketika Edi berhenti dengan gitarnya dan menambahkan, “Sini non profit kok Mas, jadi nggak formal banget. Siapa saja boleh ikut merawat. Kadang juga temenku ikut main ke sini. Ngajar gambar, lukis. Kalau aku sih, semakin banyak yang peduli, semakin banyak yang memakai. Syukurlah bermanfaat.”

Mentas, Melepas Belenggu Kandas

Rumah Baca yang dibuka sejak April 2019 itu awalnya hanya berisi beberapa buku koleksi pribadi milik Edi, berupa novel dan kumpulan cerpen. Edi merupakan mahasiswa program studi Sastra Indonesia, maka tidak heran mengetahui itu. Lalu lambat laun bertambah banyak lewat donasi buku yang pamfletnya sering dibagikan melalui media sosial.

“Setiap ada kegiatan, kita sering share pamflet donasi buku lewat instastory, WA, dari situ mulai banyak yang nyumbang. Itu sampai mau dikiloin segitu banyak,” kataya seraya menunjuk tumpukan buku di sudut ruang.

Aku lantas beranjak menengok tumpukan itu. Rupanya tumpukan buku itu sudah diseleksi. Mayoritas buku paket sekolah kurikulum KTSP yang sudah tidak dipakai. Beberapa yang lain sudah lusuh dan sobek.

“Ada kegiatan rutin, Mad?” tanyaku ketika sudah kembali ke tempat duduk.

“Ada, sih. Tapi ya nggak memaksa. Yang mau ikut ya ikut saja tapi alhamdulillah lumayan aktif anak-anak di sini. Kemarin ada bikin wayang, menggambar bersama, melukis.”

“Kegiatan yang untuk pemuda sendiri sebenarnya juga ada sih,” timpal Edi bersamaan ia meletakkan gitar.

“Iya, sempat ada bedah buku juga tapi berhenti dari awal pandemi,” sambung Ahmad.

“Kalau kepengurusannya bagaimana?”

“Tanggung jawab bersama. Sampai sekarang saja kami nggak pakai struktur organisasi, kalaupun ada paling ya insidental kalau ada acara saja sih,” jelas Ahmad

Sesaat kemudian Edi beranjak keluar untuk mengantarkan pesanan tembakau. Deru motornya yang menggelegar perlahan berlalu. Aku kembali melanjutkan obrolan dengan Ahmad.

“Kenapa namanya Nine, Mad?” tanyaku.

“Kalau ini subyektif,” jawab Ahmad antusias

“Relatif, tergantung kamu nanya siapa. Kalau kamu tanya Mas Edi atau tanya pemuda lain, bisa beda. Kalau aku, Nine itu dari munine (katanya-red) gitu. Jadi, kalau ada orang tanya, jadi penasaran. Beneran ada rumah baca nggak sih, paling nggak mereka jadi dateng,” sambung pemuda 19 tahun itu.

Selanjutnya, ia menambahkan kalau Nine itu bisa berarti Sembilan (Inggris). Angka sembilan memiliki filosofi tersendiri. Angka 9 dianggap angka tunggal tertinggi dan menjadi simbol kesempurnaan.

Dalam lingkup agama, angka 9 juga tampak hidup dan terdapat nilai khasyang melekatinya. Seperti 99 Asmaul Husna dan 9 wali penyebar agama Islam di Indonesia (Wali Songo). Sembilan karunia Tuhan dalam surat Paulus yang diyakini umat Kristiani. Sembilan Dewata Nawa yang diimani umat Hindu serta 9 Dharma yang patuhi oleh penganut Buddha.

Obrolan kami kian mengalir dan pikiranku terus saja memerintah untuk mengulik rumah baca ini. Camilan dan kopi tetap setia menemani perbincangan kami malam ini.

“Dalam waktu dekat ini ada kegiatan atau pagelaran nggak, Mad?” tanyaku sembari meneguk kopi buatan Ahmad tadi.

“Oh, ya itu, Malam Puncak. Kemarin ‘kan udah bikin wayang, anak-anak juga udah dilatih ngedalang, ya tinggal tampil. Pekan depan, kecil-kecilan aja panggungnya. Sak madyane penting rame,” tandas mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Tidar tersebut.

“Tanggapan orang tua anak-anak atau orang dewasa bagaimana, Mad?”

Nggak masalah. Ya walaupun kalau ditanya, kegiatan kaya gitu tuh hasilnya apasih buat anak-anak, sekarang belum tahu. Misal, kalau cuma nggambar gitu apa iya anak jadi langsung pinter. Kan nggak juga. Yang penting mereka senang aja sih dan aktif.Bocah dudu dolanan, tapi kudu dolanan,” ucap Ahmad semangat.

Paling tidak dari kecil mereka sudah kenal buku, setidaknya literasinya membaik. Pasti ada beda antara yang dari kecil suka buku sama yang dari kecil gila gadget. Harapannya sih, paling tidak ada satu dua bibit penerus generasi biar Omah Moco ini tetep eksis,” jelas Ahmad sembari mengangkat kaki lalu bersila.

PKKMB Online, sudah saatnya meninggalkan kebiasaan Orde baru

Sesaat kemudian nenek Ahmad menyuruh kami makan. Kami pun bersantap malam. Kerupuk enak itu kemudian habis menemani santap malam kami. Tak lama setelah kami usai makan, Edi sudah kembali. Ia menghidupkan laptop dan meraih sebuah buku yang pada sampul depannya tertulis “Leksikografi”. Aku yakin dia sedang akan mengerjakan skripsinya. Tentu tak perlu kutanyakan hal itu padanya.

Sementara Edi asyik dengan skripsinya, aku dan Ahmad lanjut ngobrol ngalor-ngidulhingga kami pun tertidur.

Aku lupa tidur jam berapa malam itu. Tak lama menunggu Ahmad bangun, aku pamit untuk pulang dengan tiga buah buku yang kupinjam dari Omah Moco Nine, kamu tidak harus tahu, cukup 25 Nabi & Rasul saja yang wajib diketahui.

Obrolan malam Jumat itu membuatku curiga. Jangan-jangan apa yang mereka lakukan adalah pengaplikasian pendidikan yang sebenarnya. Karena apa yang mereka lakukan selaras dengan arti pendidikan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia. Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.

Fenomena perpustakaan atau rumah baca yang swadaya, swadana dan swakarsa ini membuatku takjub. Tinggal di desa bukan alasan untuk tidak menghidupkan dunia literasi. Paling tidak, dimulai dari diri sendiri. Tidakkah membaca merupakan perintah pertama yang diturunkan-Nya dalam Al-Qur’an, bukan?

Mendengar cerita Ahmad tentang bagaimana anak-anak dengan kesadaran sendiri, inisiatif dan senang hati melakukan berbagai kegiatan membuatku memaki dalam hati, “Seharusnya sekolah juga bisa seperti ini. Edukatif, tapi juga menyenangkan. Bukan stress karena kebanyakan agenda nihil.” Jangan-jangan Pidi Baiq benar, “Sesungguhnya hidup ini adalah senda gurau, sekolah yang menyebabkannya serius.”

Penulis : Lindu
Editor : Iqbal

0 Responses

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *