cerita bersambung
Baca: Sukarta Post (I)
Kring, kring, kring… sautan bel sepeda planters (pemilik kebun) gula membangunkan lelapku. Tak terasa aku tertidur dengan muka tertutup sebuah buku. Maklum, Aku dan Sukarta berjuang keras malamnya. Kami melahap hampir setengah buku dari total buku di koper. Melahap dan menyaring sehingga mendapatkan konten. Konten itu kemudian kami tuliskan di secarik kertas semen berukuran laksana kartu pos. Kami membuat Post tak lupa Pena Jan yang digunakan sebagai tintanya. Kemudian kami gulung dan diikat dengan ijuk. Terkumpul 30 gulungan kecil, penyebaran kami sepakat untuk bagi rata. Aku 15, Sukarta 15. Tak lupa tempat sasaran sudah pula di tetapkan.
Setelah membersihkan diri seadanya, aku keluar dari rumah. Kulihat Sukarta sudah menunggu di depan pintu sambil menyulut sarapannya.
“Sudah terbawa semua Das?” Sambil menghisap rokok kawungnya.
“Tenang semua sudah sedia,”
“Jangan lupa pembagian tugas tadi, kita lakukan ketika jam istirahat, dan terpenting jaga diri,”
“Tenanglah saudara, aku sudah mahir dalam hal ini,” selepas itu kami berjalan menuju ke pabrik gula.
Sesampai di pabrik, kegiatan seperti biasa. Mengambil alat pertanian dan mulai menggarap ladang. Tas kami sengaja ditinggalkan di barak pekerja, bersampingan dengan tas kuli lain. Dalam benak sering gelisah, apabila terjadi pemeriksaan dadakan oleh si mandor. Pernah suatu masa salah satu teman kuli dalam tasnya ditemukan beberapa baut dan mur. Setelah dinterogasi opseter (pengawas), teman kami tadi mengaku bahwa baut dan mur itu sengaja ia curi dari gudang untuk kemudian dikumpulkan dirumah. Lanjutnya setelah terkumpul di rumah maka ia berniat untuk menjualnya ke tauke besi yang ada di pasar. Ia menjelaskan pula ia terpaksa melakukannya untuk menyelasaikan urusan perut keluarganya.
Tak tanggung-tanggung, teman kami itu mendapat hukuman bogem mentah pada perutnya setelah itu. Selain itu pemotongan upah serta tambahan waktu bekerja berlaku padanya. Saya tak bisa membantu banyak pada teman itu kecuali menguatkan hatinya saja. Tapi saya sadar betul karena sering bergaul di pasar, terkumpulnya baut dan mur seukuran semangkok besar jika di tukar dengan beras hanya didpat 250 gram saja.Untuk makan satu keluarga pun itu tak bisa dibilang cukup. Memang urusan perut ini ialah penting dan saat ini ialah susah. Cara yang dianggap pun buruk bisa dianggap sah dimata si lapar.
“Jam istirahat, jam istirahat,” teriak salah satu mandor kepada kita. Pas juga dahagaku sudah menjerit haus. Para buruh pun bergegas memilih tempat untuk mengaso. Ada yang kembali ke barak, ada pula yang ke kantin. Setelah menguk air, aku dan Sukarta memilih untuk memulai aksi. Sukarta mendapat jatah menyebar di utara pabrik meliputi Lodgie pusat, Lodgie kepegawaian, dan dalam ruang mesin. Sedang Aku menyebar disisih selatan mencangkup kantin, barak, parkiran sepeda, dan parkiran auto. Sambil selalu waspada aku meletakan gulungan dari tempat satu ketempat yang lain. Aku taruh gulungan diantara ruji sepeda, didalam auto, di balik mangkok dan gelas, dan sebagainya.
Langit biru memudar berubah menjadi oranje, pabrik pun memuntahkan seluruh pegawai dan kulinya dari gerbang di selatan. Aku dan Sukarta berjalan menyusuri jalan menuju rumah. Di jalan kami bercerita bagaimana kami melakukan aksi kami.
“Tahu tidak Das saya tadi hampir saja ketahuan opseter (penjaga),” Sukarta berucap.
“Wah itu cerita biasa, saya sudah berulang kali juga mengalami itu. Saya ada cerita yang menarik hati saudara,” ujarku.
“Awas saja jika tak tak berkesan, cepat ceritakan Das!”
“Jadi saya sempat meletakan gulungan ke dalam satu tas wanita, saya bisa melakukan itu saat berada di parkiran auto para tuan tanah. Jika direnungkan tak mungkin tuan tanah yang sejatinya jantan itu membawa tas yang elok identik dengan betina itu ketempat kerja.”
“Das aku udah tau kau ingin berucap apa, tas itu sejatinya akan dihadiahkan kepada gundik di kota kan?. Kelakuan tuan tanah yang menjadi tangan-kaki Belanda itu lama-lama memuakan,”
“ Jaa, saudara benar. Tuan tanah yang tampak berwibawa itu ternyata manusia juga punya hasrat biologi pula. Sama besar dengan perutnya yang dibawanya itu tiap hari,” aku berkata sambil ketawa. Sukarta juga tertawa sambil memukul pundakku.
Setibanya di rumah kami membersihkan diri. Aku pergi untuk mandi dan Sukarta bersiap untuk memasak. Menu makan malam ini ialah ikan asin goreng. Zonder menunggu tempo, selepas ikan asin itu ditiriskan dan masih panas kami langsung melahap dengan nasi yang dingin.
Sedikit tambahan ketika kami membikin Post. Malam telah larut, selepas makan malam kami memulai lagi menuliskan tulisan-tulisan di selembar kertas semen itu. Pustaka-pustaka kembali di buka, dan kopi mulai diaduk. Asap tembakau dari rokok kawung memenuhi ruangan kami menulis. Walaupun hanya disinari lampu sentir, dan duduk di atas tanah, kami tak gentar. Lembar demi lembar pustaka kami tekuni, kata/sepintas yang penting kami tandai. Tak lupa kami juga isi dengan diskusi mengenai apa yang penjajah lakukan kepada rakyat dan apa yang dirasakan rakyat terhadap penjajah. Tentunya pula kami berpedoman tujuan pesan yang kami tulis tersampai. Salah satunya cara ialah membuatnya pendek, jika panjang dan detail, nafsu pembaca kuli itu bisa mati di muka. Kendala kami terdapat sewaktu menemukan tesis dari para tokoh terkenal seperti Multatuli, Engels, Franklin yang terkenal panjang dan susah dipahami khalayak. Kami ubah sedikit atau kami ganti menggunakan analogi sehari-hari tentunya dengan memperhatikan situasi di tempat kami. Dan Pena Jan mulai menari-nari setelah apa yang ingin kami tulis terpikirkan. Malam itu pula kami sepakat untuk tidak mengedarkan dulu post kami esoknya. Karena kami ingin melihat dampak dahulu.
Keesokan hari saat kami sampai di barak, kami melihat beberapa buruh berkerumun. Berkurumun sambil memegang secarik post yang kami buat. Mereka mengobrol dan saling mencurahkan isi hati mereka setelah membaca tulisan itu. Efek secarik kertas kecil itu ternyata bisa menggugah hati dan nalar mereka. Bahkan ada juga yang sudah memaki Gouvernement itu didalam barak. Bagi aku dan Sukarta ini sebuah nyala api kecil yang harus dijaga.
Ketika istirahat aku dan Sukarta sengaja memilih berjalan-jalan di sekitaran lodgie pusat. Kami berjalan sambil menghisap makan siang kami (rokok). Aku tak melihat kondisi yang sama seperti di barak. Tidak ada perkumpulan yang terjadi. Mungkin saja mereka tidak melihat atau mungkin mereka terlalu acuh mengerjakan perintah. Tapi sesampainya di ruang mesin kami melihat beberapa teknisi mesin itu, sambil menikmati makan siangnya ia seperti mendiskusikan sesuatu. Benar saja ketika Kami mampir isi dari post kami yang menjadi bahan diskusinya.
“Maaf, saudara apakah di barak buruh ladang juga menemukan post seperti ini?” tanya seorang teknisi yang muncul ketika kami sedang berkeliling.
“Ya di barak kami juga menemukannya memang ada apa?” jawab Sukarta
“Suara hati Saya dan rekan-rekan tersampaikan dengan tulisan yang ada di post ini, oh dan jika saudara tau siapa si cerdas yang membuat post ini, tolong sampaikan kami menunggu kertasnya lagi. Kami dulu mantan serikat dan api kami hampir redup!”
Sukarta hanya menjawab dengan tersenyum kecil. Kami meninggalkan teknisi tadi dan ingin melanjutkan ke lodgie pegawai. Di tengah perjalanan, tepatnya di salah satu gang yang terdapat pada lodgie pegawai, kami melihat salah satu pegawai didampingi opseter (penjaga) itu sedang bersama polisi. Kami melihat dari jauh dan ada kertaspost kami di tangan polisi itu.
“Kita urungkan saja ke lodgie pegawai Das, ini tak aman,” saut Sukarta tak berapa lama. Kami pun kembali ke barak dan bekerja seperti kembali hingga waktu pulang tiba.
“Pena ini sudah sah jika dijadikan biang kerok,” ucap Sukarta memecah kesepian di saat kami bersantai di atas lincak malamnya. Perkataan Sukarta ini aku pahami ada benarnya pula, jika karena bukan pena ini, hasrat membuat post pasti tak ada. Aku beranggapan semua yang terjadi merupakan jalan langit untuk kami, untuk tanah kami! Setelah penangkapan anak-anak nakal penganggu ketentraman Gouvernement tahun yang lalu ke Boven Digul, pembuangan orang cerdas yang di masyarakat diilhami ibarat pohon beringin yang luas teduhannya, pembuangan para pemimpin yang pemberani, dan perasaan Helaas ( putus asa) dimana-mana, pena ini diturunkan langit laksana pertanyaan dan membuat Post adalah jawaban. Tak berapa lama pikiranku membuah suatu gagasan. Aku pun mengutarakan nya pada Sukarta bahwa harus lekas kita luaskan lagi area penyebarannya, di luar lingkup pabrik. Sukarta pun ingin pula melaksanakan maksudku. Dia pun tak keberatan jika harus melembur dimalam hari dengan pustaka berdebu itu. Tapi dia mempersoalkan tokoh, kita butuh seseorang lagi. Seseorang yang paham seluk beluk daerah ini, pandai muslihat dan pandai berakal-berbicara. Tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar, Aku berperasaan jelek mengira bahwa yang datang ialah polisi yang kami temui lalu. Ku menatap mata Sukarta dan ia pun langsung menuju pintu. Aku masuk ke kamar mendekati jendela dan membukanya bersiap-siap jika kemungkinan buruk terjadi. Aku akan kabur. Bukan maksud aku pengecut dalam ini tapi ini jalan yang telah kami putuskan jika genting, gugur satu muncul seratus.
“Bukankah anda buruh yang…..” saut Sukarta belum selesai, orang itu menjawab.
“Ya benar saya buruh mesin yang bercakap dengan anda, nama saya Yunus dan saya pernah menjadi kurir propaganda, Saya ingin bergabung dengan saudara dan kawan. Jangan mengelak saya tadi sempat mendengar pembicaraan kalian. Dan sengaja saya membututi kalian dari belakang selepas dari Pabrik.” Mata sukarta terheran-heran dan tak mampu berkata apalagi. Aku pun menghampiri Sukarta dan bertatap muka dengan Yunus itu “ Anda diutus oleh langit bukan? dan kami memang membuka lowongan juga,”
Penulis: Airlangga
Editor: Fairuz